Salah satu faktor penting agar kepastian hasil yang lestari dapat tercapai adalah keberhasilan sistem permudaan. Menurut Knuchel (1953 dalam Simon, 2005) suatu pengelolaan hutan dapat dikatakan lestari bila dapat menyediakan suplai kayu selama bertahun-tahun dari tebangan yang berasal tegakan yang telah mencapai kondisi masak tebang. Tanpa sistem permudaan yang baik, maka produktifitas hutan lambat laun akan menurun.
Sistem pengelolaan hutan baik hutan rakyat berupa pekarangan, kebun, talun dan hutan rakyat sistem campuran dan hutan negara akan berbeda satu sama lain, tergantung seberapa tinggi intensitas pengelolaan di dalamnya.
Pada hutan rakyat dengan sistem pekarangan, upaya permudaan yang dilakukan adalah permudaan buatan dengan pemeliharaan tanaman muda yang lebih intensif. Sebaliknya pada sistem kebun atau talun, upaya permudaannya terbatas hanya dengan mengandalkan pada keberadaan anakan alam yang ada dan mengatur jarak tanam yang ideal.
Tulisan ini bermaksud memberikan informasi tentang sistem permudaan hutan dengan trubusan (coppice system). Sistem ini sebenarnya telah digunakan pada hutan rakyat di beberapa daerah di Jawa, namun belum secara luas digunakan oleh petani lain di Indonesia.
Beberapa sistem trubusan akan dijelaskan juga kelebihan dan kelemahannya bila ditinjau dari aspek pengelolaannya.
Beberapa tantangan kerap juga dihadapi Perum Perhutani dalam mengelola hutan jati. Salah satunya adalah masih banyaknya pencurian kayu jati. Seringnya pencurian bahkan kerap membuat areal hutan jati gundul. Upaya merehabilitasi kawasan hutan secara tepat dan cepat menjadi satu hal yang sangat penting. Demi langkah itu beberapa Kesatuan pemangkuan hutan membudidayakan tanaman Jati lewat pola trubusan.
Mengenal Budidaya Trubusan Jati
Budi daya tanaman jati dengan pola trubusan adalah pengembangan tanaman jati tanpa menanam. Caranya adalah dengan memelihara tanaman muda yang tumbuh atau trubus dari bonggol jati yang telah ditebang. Dari beberapa trubusan yang tumbuh itu, lalu dipilih yang terbaik. Nah, trubusan yang terbaik itulah yang selanjutnya dipelihara hingga usia 20 tahun. Di usia 20 tahun, jati trubusan dapat dipanen.
Jadi, trubusan adalah tunas baru yang tumbuh di bekas tebangan tanaman jati. Selain teknik trubusan, juga ada pola yang lain pengembangan jati tanpa menanam, yaitu opslagh. Konon, kegiatan opslagh cultur sudah ada dan pernah dilakukan di zaman penjajahan Belanda dulu. Konon, kegiatan opslagh cultur adalah bagian dari manajemen kepepet (cara instan menghijaukan hutan).
Tetapi, ada beda trubusan dan opslagh. Jika dalam proses pengembangan tanaman jati dengan pola trubusan itu bonggol jati dibiarkan alamiah dan apa adanya, dalam pola opslagh bonggol jati itu dikepras dulu sampai rata dengan tanah, baru dibiarkan. Nah, trubusan-trubusan yang tumbuh dari bekas tebangan jati itu lalu dipilih yang terbaik, dan dipelihara hingga besar.
Trubusan telah dikembangkan oleh KPH Nganjuk sejak tahun 2003. Pola itu dipandang cukup baik sebagai upaya mempercepat proses reboisasi guna menutup lahan bekas tebangan dan pencurian. Selain tidak butuh biaya besar, trubusan juga mempercepat daur (siklus pertumbuhan, red) jati dari 60 tahun menjadi 20 tahun, sehingga dapat mempercepat kawasan hutan menjadi hijau kembali.
Ide mengembangkan jati dengan pola trubusan itu muncul karena di tahun 2003 itu ia melihat produktivitas kayu jati dari KPH Nganjuk per tahun menurun. Umumnya penurunan itu karena banyak gangguan yang datang, semisal perusakan dan pencurian kayu. Sehingga, katanya, saat itu area hutan produksi di Nganjuk memiliki daur yang sesungguhnya tidak lagi sampai 20 tahun, melainkan hanya berkisar lima tahunan.
Umumnya tanaman yang baru berumur antara lima sampai sepuluh tahun hilang karena dicuri, dan sewaktu ditanami lagi dirusak orang, sehingga tidak pernah sampai mencapai siklus tumbuh (daur) normal.
Tenaga kerja masyarakat yang bekerja di hutan semakin lama semakin berkurang. Termasuk jumlah mandor Perhutani yang juga semakin berkurang karena memasuki masa pensiun. Selain itu, musim hujan tak bisa diprediksi. Semua itu, ditambah upaya untuk menekan biaya pemeliharaan pohon, menjadi faktor yang melatarbelakangi dikembangkannya sistem trubusan di KPH Nganjuk.
Produktivitas kayu jati dari daerah KPH Nganjuk berkisar hanya 40.000 meter kubik pertahun. “Itu pun angka resminya, akan tetapi realitasnya hanya berkisar 5000 sampai 7000 meter kubik, karena sebagian besar hilang dalam bentuk kayu rencek, kayu bakar.
Harus ada sistem pengelolaan yang bagus dan efektif agar produktivitas kayu jati dapat meningkat. Setelah merenung dan meneliti pola-pola pengembangan jati, tercetuslah manajemen pengelolaan trubusan itu sebagai solusi untuk segera melakukan recovery.
Solusi melalui pemikiran untuk memotong daur jati dari 60-70 tahun menjadi hanya 20 tahun, di daerah penyangga, dengan teknik tebang tanpa teresan, melalui teknik pemeliharaan tunas, sehingga dapat cepat pulih. Dan sejak itulah manajemen pengelolaan jati dengan teknik trubusan terus dikembangkan.
Perhutani sudah memiliki pemikiran untuk menanam di daerah penyangga dengan daur pendek Fast Growing Species (FGS). Tetapi, pola itu bukan digunakan dengan jenis tanaman jati, melainkan akasia mangium dan mindi. Untuk jati, pola mempercepat daur itu belum pernah dicoba, karena masih terpaku pada pemikiran bahwa masa daur jati harus 60 tahun. Sedangkan, nilai ekonomis jati lebih besar daripada kayu jenis lainnya.
Penunggalan (singling) adalah kegiatan pemotongan beberapa batang hasil trubusan jati
yang memiliki bentuk batang yang tidak bagus sehingga tersisa 1 trubusan jati yang diharapkan mampu tumbuh menjadi 1 batang pohon jati yang lurus dengan bebas cabang tinggi, dan diameter lebih besar.
Kegiatan ini bertujuan untuk menghasilkan 1 trubusan yang memiliki batang lurus, bebas
cabang tinggi, dan diameter lebar.
Manfaat penunggalan :
- Pohon yang memiliki satu batang utama (trubusan yang tidak dipotong) akan memiliki pertumbuhan yang optimal sehingga akan mampu menghasilkan batang pohon jati yang lurus, bebas cabang tinggi, dan diameter lebar.
- Kayu hasil singling dapat dimanfaatkan sebagai kayu bakar dan tambahan pendapatan petani.
- Dapat mengurangi resiko kebakaran hutan.
Tajuk yang bersinggungan dari lantai hutan hingga tajuk pohon teratas akan memudahkan api menjalar menjadi besar.
Cara penjarangan pada penunngalan trubusan :
- Kegiatan penunggalan hanya dilakukan pada tunggak jati yang memiliki jumlah trubusan lebih dari 1 batang.
- Perhatikan bentuk dan kondisi kesehatan beberapa trubusan yang muncul pada suatu tunggak jati.
- Pilih satu terubus an yang paling potensial yaitu penampilannya paling sehat, besar, lurus, dan paling dekat dengan tanah. Trubusan ini merupakan trubusan pilihan yang tidak dipotong dan dibiarkan hidup menjadi besar.
- Bersihkan batang dan pangkal batang trubusan yang akan dipotong (yakni yang memiliki bentuk batang tidak lurus, pertumbuhan tidak sehat) dari berbagai kotoran dan lilitan liana.
- Potong trubusan pada pangkal batangnya atau permukaan tunggak jatinya.
- Pemotongan trubusan dilakukan dengan menggunakan gergaji.
- Bekas pangkal batang trubusan yang sudah dipotong diberi minyak ter agar tidak menjadi pintu masuk bagi hama atau penyakit.
- Setelah minyak ternya kering, bekas pangkal batang trubusan yang dipotong ditutup dengan tanah agar akar yang tumbuh di pangkal batang merata di semua sisi.
- Penunggalan dilakukan secara rutin setiap tumbuh terubusan baru, agar pertumbuhan pohon terpusat pada terubusan yang terpilih.
Tidak Salahi Prinsip Keilmuan
Trubusan yang banyak bermunculan menjadi hutan yang bagus di wilayah KPH Nganjuk. Di tempat tugasnya sebelum KPH Nganjuk, pola seperti ini belum terpikirkan.
Saat ini kayu jati kategori diameter 4 dan diameter 7 yang merupakan hasil tebang umur 10 tahun dan 20 tahun, juga laris terjual di pasaran. Jika jati trubusan yang setelah dua puluh tahun itu ditebang, setidaknya untuk setiap satu hektare dapat bernilai minimal Rp 50 juta, dengan target 100 meter kubik per hektare. Lagipula, menurut dia, pembudiayaan tanaman jati berdaur pendek lewat pola trubusan ini juga tidak akan menyalahi prinsip ilmu kehutanan manapun.
Tiga prinsip dalam pengelolaan hutan, yaitu ekologi, ekonomi, dan sosial. Dari aspek ekologi jelas terpenuhi, karena sehabis ditebang langsung jadi hutan kembali. Segi ekonomi juga pasti, karena dapat menghasilkan produk dalam waktu pendek. Dan sisi sosial juga kongkret karena 25 persen keuntungannya untuk kas desa.
Selain itu, setelah waktu dua puluh tahun, jika jati trubusan itu ditebang, setidaknya dapat bernilai minimal lima puluh juta rupiah untuk setiap luas satu hektare, dengan target 100 meter kubik per hektare. Sedangkan biayanya hanya Rp 150.000 per hektare.
Jadi, trubusan tidak menyalahi prinsip keilmuan. Bahkan, ia bisa menjadi solusi yang paling relevan bagi persoalan-persoalan mendasar, semisal faktor biaya pembuatan tanaman yang mahal, waktu pemeliharaan yang lama, dan risiko keamanan yang banyak.
Pengelolaan hutan dengan metode opslagh culture khususnya pada kelas hutan TBK atau tanaman bertumbuhan kurang, dengan harapan dapat mempercepat penutupan lahan, dengan biaya minimal tetapi tetap mampu memberikan tambahan kontribusi pendapatan secara maksimal terhadap perusahaan.
Pengembangan jati dengan teknik trubusan sekarang ini sudah mulai dilakukan secara serius oleh KPH-KPH, terutama KPH-KPH yang memiliki risiko gangguan keamanan hutan yang tinggi.
Masih Ada Kendala
Pengembangan tanaman jati dengan pola trubusan tersebut bermanfaat untuk menghijaukan kembali lahan bekas tebangan dan lahan bekas pencurian. Juga dapat mempercepat proses merehabilitasi kawasan hutan secara tepat dan efektif tanpa membutuhkan waktu lama.
Namun, masih ada kendala dalam penerapannya. Kekurangannya adalah mudah roboh jika terkena angin. Selain itu, tumbuhnya tunas-tunas baru kerap kali mengganggu pertumbuhan tunas pokok, dan apabila tunas itu sudah besar biasanya ditebang untuk digunakan sebagai kayu bakar atau rencek, sehingga terjadi trubusan baru yang memulai prosesnya dari awal lagi.
Maka, perlu disandingkan dengan jati yang daurnya normal sebagai sumber benih. Jika sumber benihnya berkualitas, serta melalui proses penanaman plances atau bibit terseleksi dari persemaian, maka diharapkan bibit jati yang ditanam merupakan bibit yang baik, sehat, dan dalam kondisi yang tepat waktu untuk ditanam. Sehingga, pada akhir daur nanti akan diperoleh tegakan jati yang berkualitas.
Selain kendala tersebut, ancaman lain terhadap kelangsungan jati trubusan yaitu kecenderungan peningkatan gangguan terhadap tanaman hutan berupa pencurian kayu, pemangkasan cabang, pengambilan daun secara liar, pembabatan liar, kebakaran hutan maupun gangguan lainnya. Semua itu bisa mengakibatkan hutan mengalami kerusakan, penurunan produktivitas hutan, dan menurunnya kualitas tegakan.
Banyaknya tumbuh tunas-tunas baru yang kerap mengganggu pertumbuhan tunas pokok, perlu benar-benar dipilih tunas yang tumbuhnya paling baik.
Tunas tumbuh pada tunggak biasanya lebih dari satu. Untuk itu, perlu dipilih satu tunas yang tumbuhnya paling baik, sedangkan tunas lainnya dimatikan atau wiwil. Dan setelah selesai, diberikan preservak atau tir.
Pemotongan tunggak-tunggak dengan menggunakan gergaji tangan (bow saw) atau gergaji rantai (chain saw) dengan potongan miring. Untuk menghindari genangan air, tinggi tunggak bagian yang rendah minimal dua centimeter dan bagian yang tinggi lima centimeter di atas tanah. Setelah selesai, pada tunggak tersebut diberikan preservak atau tir.
Pengembangan jati trubusan dapat meningkatkan produktivitas tanaman hutan serta mempercepat proses reboisasi dan penutupan tanah kosong. Penerapan trubusan dan opslagh culture dengan daur 10 – 20 tahun ini diutamakan dilakukan di daerah penyangga. Dan, menyimak proses pengembangan jati trubusan, maka sebagai sebuah terobosan dalam pengembangan jati.
BEBERAPA SISTEM SILVIKULTUR PADA HUTAN RAKYAT
Pemilihan sistem silvikultur pada hutan rakyat sesungguhnya sangat dipengaruhi oleh intensitas pengelolaan di dalamnya, kondisi tegakan dan bentuk hutan rakyat yang diusahakan. Menurut Mindawati (2006), pengelolaan hutan rakyat merupakan bagian dari seluruh aktifitas petani di lahannya. Teknik silvikultur yang diterapkan masyarakat pada umumnya masih silvikultur tradisional dan kegiatannya bervariasi pada tiap periode perkembangannya. Beberapa hasil penelitian yang dilakukan oleh Widiarti (2001); Prabowo, (2000) dan Attar (2000) yang dirangkum oleh Mindawati (2006) menggambarkan bahwa terdapat beberapa praktek silvikultur yang diterapkan pada hutan rakyat pada beberapa daerah di Indonesia, antara lain yaitu :
1. Sistem Tebang Habis dengan Trubusan
Sistem tebang habis dengan trubusan biasanya dilakukan pada hutan rakyat murni sengon dan jati yang ditumpangsarikan dengan tanaman semusim sampai pohon sengon berumur ± 2 tahun. Seluruh tanaman sengon pada umur 5-6 tahun ditebang habis, sedangkan tanaman jati biasanya di atas umur 20 tahunan baru ditebang. Untuk membentuk tegakan selanjutnya, dipilih tunas yang tumbuh cukup banyak dari tunggul bekas tebangan. Tunas dipilih 2–3 batang yang tumbuh baik, berbatang lurus dan sehat. Pada umur 3–5 tahun tunas-tunas tersebut dapat dipungut lagi hasilnya.
Berdasarkan pengalaman untuk tanaman sengon di daerah Sukabumi dan Tasikmalaya (Jawa Barat), tunggul yang diterapkan pertama (pohon induk) cukup baik untuk menghasilkan tiga kali trubusan. Permudaan sengon dengan trubusan juga dilakukan masyarakat di Desa Gunungsari, Boyolali dan Desa Sumberejo, Wonogiri, Jawa Tengah. Sistem ini menghemat biaya pembuatan tanaman, namun kualitas tegakan yang dihasilkan terkadang mutunya belum tentu sama dengan tegakan sebelumnya (kurang baik).
2. Sistem Tebang Habis dengan Permudaan Buatan
Sistem silvikultur tebang habis dengan permudaan buatan dilaksanakan pada hutan rakyat yang sudah dikelola dengan baik. Petani mempunyai lahan yang cukup luas dan modal yang cukup. Sistem seperti ini dilaksanakan pada hutan rakyat murni akan tetapi sistem ini masih jarang dijumpai di lapangan.
3. Sistem Tebang Pilih dengan Permudaan Alam
Sistem silvikultur tebang pilih dengan permudaan alam umumnya dilakukan pada areal hutan rakyat campuran dan wanatani. Biasanya hutan rakyat tersebut belum dikelola secara baik karena petani hanya memungut beberapa pohon sesuai kebutuhan sehingga mengakibatkan keragaman yang tinggi pada jenis dan umur tanaman pada satu lokasi. Setelah menebang petani tidak menanami areal bekas tebangan, tetapi cukup mengandalkan permudaan alam yang memang jumlahnya cukup berlimpah. Kelemahan sistem ini adalah tidak didapatkannya jumlah kayu yang cukup pada suatu waktu tertentu dengan kualitas yang baik, karena bibit yang berasal dari tunggakan belum tentu mempunyai kualitas yang baik.
4. Sistem Tebang Pilih dengan Permudaan Buatan
Sistem silvikultur tebang pilih dengan permudaan buatan dilakukan dengan memilih pohon-pohon yang akan ditebang sesuai keperluannya. Permudaan dilakukan dengan menanami kembali bekas tebangan tersebut dengan bibit/anakan yang telah dipersiapkan sebelumnya. Akan tetapi seringkali biji yang dipakai bukan berasal dari pohon plus, tetapi dari pohon tebangan di sekitar lokasi sehingga kualitas bibit kurang baik. Sistem silvikultur seperti di atas dijumpai pada hutan rakyat yang berbentuk campuran dan hutan rakyat dengan sistem agroforestry/wanatani.
SISTEM PERMUDAAN DENGAN TRUBUSAN
Sebagian besar jenis pohon komersial di Indonesia dipermudakan dari biji dan semai. Sebagian kecil lagi dapat dipermudakan melalui trubusan dan tunas, seperti: sengon, sungkai, sonokeling, lamtoro, kaliandra, kayu putih, akasia dan lain-lain. Menurut Nyland (2001) jika permudaan dengan semai akan menghasilkan sistem hutan tinggi (high forest system), maka permudaan dengan trubusan akan menghasilkan sistem hutan rendah (low forest system).
Menurut Hamilton dan Colac (2000), trubusan merupakan pertumbuhan kembali tunas pada tunggak pohon (stump). Sistem permudaan dengan trubusan adalah kegiatan menebang pohon dan menyisakan stump yang pendek, untuk merangsang munculnya tunas pada stump sebagai upaya regenerasi berikutnya. Sedangkan menurut Nyland (2001), sistem pemudaan dengan trubusan adalah suatu cara regenerasi tegakan secara vegetativ melalui trubusan, baik yang muncul pada stump, akar yang menjalar (root suckers) atau dari percabangan.
Beberapa silvikulturis menyatakan bahwa permudaan cara ini umumnya memiliki umur rotasi yang lebih pendek dibandingkan permudaan dari anakan alam atau biji. Namun ditegaskan oleh Nyland (2001), permudaan dengan cara ini akan berhasil jika spesies pohon tersebut secara alami mudah memunculkan trubusan atau mudah berakar. Selain itu permudaan dengan trubusan umumnya dilakukan pada spesies berdaun lebar pada tegakan berumur muda sampai sedang.
Ada 3 metode sistem permudaan dengan trubusan (Nyland (2001), yaitu:
1. Sistem trubusan berdasarkan tunas yang muncul pada stump
2. Sistem trubusan berdasarkan tunas yang muncul pada root sucker
3. Trubusan dengan sistem standart
Secara ringkas masing-masing dijelaskan sebagai berikut.
1. Sistem trubusan berdasarkan tunas yang muncul pada stump
Setelah ditebang sebagian besar tanaman berdaun lebar akan menghasilkan trubusan tanpa harus mencapai ukuran dewasa dan berdiameter besar. Beberapa trubusan muncul dari mata tunas dorman yang tumbuh dari bawah kulit kayu yang kemudian terlihat tumbuh di samping atau bagian bawah stump. Pertumbuhan tunas adventif yang lain juga dapat terbentuk pada kambium yang berasal dari kallus di sepanjang permukaan atas stump yang terpotong. Kemungkinan munculnya trubusan pada tunggak bekas tebangan dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1. Dua kemungkinan trubusan muncul pada stump
Sistem permudaan dengan trubusan menurut Nyland (2001) akan menghemat biaya pembuatan tanaman karena biaya persiapan lahan akan berkurang. Bila teknik ini diterapkan pada tegakan muda dan seumur, maka harus dipastikan bahwa kerapatan tegakannya cukup tinggi. Jarak tanam yang digunakan umumnya tergantung pada jenis pohon, produk kayu yang diinginkan dan panjang rotasi tanaman. Jarak paling rapat dapat digunakan 0,6 x 0,9 m untuk tujuan kayu bakar dengan panjang rotasi 1 tahun, sedangkan jarak terlebar dapat mencapai 3-3,7 m untuk tujuan kayu perkakas dengan panjang rotasi 30-40 tahun.
Kondisi tapak yang sesuai juga sangat menentukan keberhasilan tegakan dengan permudaan sistem ini. Kondisi tapak yang ideal umumnya adalah bersolum dalam, bertekstur sedang-remah, strukturnya porus, kandungan bahan organik >2%, pH sesuai dengan jenis tanaman, serta memiliki musim hujan yang cukup untuk menunjang pertumbuhan tanaman meski tanpa bantuan irigasi yang memadai. Agar produktifitas tegakan maksimal, kombinasi teknik lain dapat digunakan seperti penggunaan materi genetik unggul, penyiangan teratur, pemupukan, irigasi dan perlindungan tanaman. Untuk tanaman dengan rotasi pendek dan sebagian besar biomassa diangkut ke luar, maka produktifitas lahan perlu dijaga dengan pemberian tambahan pupuk N.
Faktor lain yang perlu diperhatikan menurut Nyland (2001) adalah kemampuan memunculkan trubusan akan dipengaruhi oleh jenis, ukuran dan umur pohon. Pada jenis Sugar maple kemampuan mengeluarkan trubusan mulai berkurang ketika diameter batang mencapai 30,5-35,6 cm, sebaliknya pada Red maple mulai meningkat pada diameter 25,4 cm dan paling bagus pada diameter 50,8 m. Uji coba pada jenis Sycamore menunjukkan kemampuan trubusan terbaik dicapai pada ukuran diameter batang 25,4 cm, karena cadangan karbohidrat dan kemampuan menyerap hara akar pada kondisi itu sangat baik. Secara umum kebanyakan spesies akan mengalami penurunan kemampuan memunculkan trubusan setelah berumur 40 tahun atau kurang. Pada saat itu beberapa faktor penghambat akan semakin meningkat seiring bertambahnya umur dan ukuran pohon seperti: kulit kayu sudah menebal sehingga sulit ditembus oleh tunas dorman pada kambium serta jaringan penghubung antara mata tunas dorman dan celah (pith) sudah rusak.
Kapasitas trubusan juga akan berkurang setelah 3-5 generasi. Sebagai contoh pada Eucalyptus globulus di India dengan panjang rotasi 15 tahun, produksi trubusannya berkurang 9% pada rotasi ke-2 dan semakin berkurang menjadi 20% pada rotasi ke-4. Bila hal tersebut terjadi, maka disarankan untuk membongkar stump dan menggantinya dengan tanaman dari bibit yang baru.
Ketinggian stump juga berpengaruh terhadap kualitas trubusan. Pada stump yang rendah, akar tunjang akan tumbuh lebih ekstensif dibandingkan stump yang tinggi (sekitar 30 cm). Penebangan pohon yang lebih dekat ke permukaan tanah juga meningkatkan resistensi busuk batang. Hal ini menurut Cheyney (1942 dalam Nyland 2001) disebabkan karena:
- trubusan seakan membangun sistem perakaran sendiri pada perakaran stump
- stump pohon induk bagian bawah tidak akan cepat busuk dibandingkan bila stump terlalu tinggi
- trubusan pada stump yang rendah akan mempunyai landasan yang kokoh dan tidak akan cepat rusak karena seakan menempel pada bagian atas stump.
2. Sistem trubusan berdasarkan tunas yang muncul pada root sucker
Hanya sedikit spesies yang bisa menghasilkan root sucker (akar yang menjalar di bawah permukaan tanah). Akar jalar ini muncul dari akar dangkal dan kadang berfungsi sebagai batang utama untuk beberapa percabangan pada sistem perakaran. Trubusan yang berasal dari root sucker dapat muncul dimana saja, tumbuh secara terpisah dan mengembangkan sistem perakaran sendiri tanpa tergantung pohon induknya. Trubusan tidak akan ikut membusuk bila batang pohon induknya mengalami pembusukan. Kelebihan lainnya, pertumbuhan tanaman baru tidak mengalami penurunan meskipun telah beberapa rotasi tanaman.
Gambar 2. Trubusan yang muncul dari root sucker pada Poplar (Populus sp.)
Meskipun kapasitas memunculkan trubusan akar berbeda pada masing-masing klon, tetapi kemampuannya secara umum tidak menurun dengan bertambahnya umur pohon atau setelah beberapa rotasi tanaman. Pada jenis Aspen dan American beech sebagian besar trubusan akar muncul pada akar lateral yang mempunyai diameter sekitar 7,62 cm.
Beberapa kegiatan silvikultur seperti menghilangkan akumulasi bahan organik pada permukaan dan pembakaran terkendali pada lahan yang mempunyai lapisan bahan organik tebal seringkali dapat meningkatkan trubusan akar. Sedangkan pengolahan tanah yang mengganggu sistem perakaran justru mengurangi trubusan akar. Beberapa kasus luka kecil akibat penebangan akan merangsang kallus dan meningkatkan produksi trubusan. Pada klon-klon yang diketahui mempunyai kemampuan mengeluarkan trubusan sangat baik, pembakaran serasah mungkin tidak diperlukan meskipun pada lahan tersebut terdapat lapisan serasah dan humus yang tebal.
Menurut Nyland (2001), waktu penebangan pohon juga berpengaruh terhadap produktifitas trubusan. Pada jenis Aspen, jika penebangan pohon dilakukan pada musim dingin dapat menghasilkan 4 kali lipat trubusan akar dibandingkan musim panas. Hal ini menjadi masalah penting bagi pengelola yang menggunakan sistem ini untuk menjamin suplai kayu sepanjang tahun karena mereka tidak dapat menebang hanya dalam satu musim saja. Untuk itu perlu dilakukan identifikasi pohon mana yang mempunyai kapasitas trubusan kurang (berdasarkan vigor pohon atau jenis klon) dan pohon mana yang mengeluarkan trubusan pada musim dorman. Klon yang berbeda akan mempunyai kapasitas trubusan yang berbeda, sehingga tegakan dengan kapasitas trubusan tinggi akan lebih mudah melakukan regenerasi setelah dilakukan pemanenan.
3. Trubusan dengan sistem standar
Pada metode permudaan ini tegakan tersusun dari pohon yang berasal dari bibit (tanaman standar) dan trubusan. Tanaman standar tetap dipelihara dan ditanam dengan jarak tanam lebar untuk umur rotasi yang lebih panjang, sedangkan permudaan dengan trubusan tetap dipelihara di sela-selanya. Tanaman standar yang berpenampilan bagus akan dipilih sebagai pohon induk sebagai sumber benih untuk meremajakan pohon-pohon dari trubusan yang menunjukkan penurunan pertumbuhan. Pohon dengan pertumbuhan yang bagus dengan diameter besar tetap dipelihara untuk kayu pertukangan. Nyland (2001) menyatakan bahwa teknik ini mempunyai banyak kelebihan seperti: terjaganya habitat bagi satwa liar, untuk fungsi rekreasi dan pemilik dapat memanen tanaman bila dinilai harga produk tersebut cukup baik.
Sistem ini juga dapat dibentuk sebagai sistem trubusan campuran. Sebagian pohon yang tua ditebang dan sebagian ditinggalkan. Trubusan yang muncul dari tunggak sisa tebangan dan berpenampilan bagus akan dipelihara untuk memperkaya tegakan, tetapi juga dilakukan penanaman beberapa bibit dari biji. Dengan demikian akan terbentuk tegakan tidak seumur, yaitu kelas tegakan seumur dari regenerasi tanaman asal trubusan dan satu kelas umur dari tegakan tua yang tetap dipertahankan.
Gambar 3. Ilustrasi model sistem permudaan standar dengan mencampur sistem permudaan dari trubusan dengan tanaman asal biji
Dibandingkan dengan sistem permudaan trubusan total, maka permudaan dengan sistem standar akan memiliki beberapa kelebihan dan kekurangan. Tabel 1 menyajikan beberapa kelebihan dan kekurangan sistem permudaan standar dengan sistem trubusan total.
Tabel 1. Kelebihan dan kekurangan permudaan dengan sistem standar
Kelebihan
|
Kekurangan
|
1. Pohon yang dapat dipanen
tersedia dalam berbagai ukuran, termasuk diameter besar yang bernilai tinggi
|
1. Kondisi tegakan yang beragam menyebabkan
silvikultur yang diterapkan lebih rumit terutama untuk menyeimbangkan ruang
tumbuh antara tanaman asal trubusan dan bibit
|
2. Dalam jangka pendek tegakan
dapat pulih sehingga pendapatan secara periodik akan terjamin
|
2. Bila trubusan banyak, tajuk tanaman akan tumbuh
rapat dan tinggi, sehingga menyulitkan pemilihan pohon untuk diseleksi
|
3. Hanya mengandung sedikit
nilai residual per unit area, karena agar menguntungkan pemilik akan
meningkatkan komposisi dengan jenis-jenis cepat tumbuh dan bernilai ekonomis
tinggi
|
3. Pemilik harus menciptakan pasar sendiri bagi kayu berdiameter kecil yang banyak
dihasilkan dari sistem trubusan seperti halnya untuk kayu pertukangan
|
4. Tanaman standart akan
tumbuh cepat sehingga meningkatkan riap volume dan nilai ekonomis yang
didapat makin tinggi
|
4. Kondisi terbuka akan
meningkatkan percabangan, luka bakar pada batang pada tanaman standart
sehingga dapat merusak batang utama
|
5. Tanaman standart dapat
menghasilkan biji yang memungkinkan pemilik memproduksi bibit baik secara generatif dan vegetatif
|
5. Naungan dari tanaman standart dapat menekan
pertumbuhan trubusan terutama pada tegakan dengan umur beragam
|
6. Penutupan tajuk yang
kontinyu yang diciptakan tanaman standart dan trubusan akan melindungi tanah
lebih baik dibandingkan bila tegakan terdiri atas pohon asal trubusan saja
|
6. Naungan dapat menghambat
pertumbuhan trubusan dari jenis-jenis intoleran
|
7. Kehadiran trubusan yang
padat diantara tanaman standart akan mencegah okupasi oleh jenis-jenis yang
tidak diinginkan
|
7. Pada
tegakan skala luas, untuk memanen kayu serat dari trubusan perlu penggunaan alat berat sehingga memakan
biaya dan membahayakan pohon standart
|
8. Kehadiran tanaman standart
dapat meningkatkan penampilan tegakan sebelum ditebang dan selama menuju
suksesi
|
8. Adakalanya setelah ditebang suatu pohon
tidak menumbuhkankan trubusan sehingga perlu diganti dengan tanaman asal biji
|
9. Pemilik dapat mengelola
dengan lebih beragam jenis dan kelas umur untuk memberikan habitat bagi kehidupan
liar
|
9. Tanaman muda sebagai bakal tegakan standart
membutuhkan pembebasan lebih awal untuk mencapai riap yang optimal
|
10. Pembebasan tanaman standart
dengan penjarangan berat dapat meningkatkan resiko tegakan rusak karena angin
terutama pada tanah bersolum dangkal
|
|
11. Diperlukan pruning pada
tanaman standart untuk meningkatkan kualita batang bagian bawah
|
|
12. Tanaman standart umumnya
mempunyai bentuk batang jelek, percabangan berat untuk mempertahankan diri
dari terpaan angin dsb.
|
Sumber : Cheyney, 1942; Smith, 1986 dan Matthew, 1989 yang dirangkum oleh Nyland, 2001.
APLIKASI TRUBUSAN UNTUK PERMUDAAN HUTAN RAKYAT
Umumnya hutan rakyat merupakan tegakan campuran, hanya sebagian kecil saja yang diusahakan monokultur terutama yang dilakukan oleh perorangan atau kelompok usaha yang mempunyai modal besar (Sudrajat dan Abidin, 2006). Dengan demikian, untuk menerapkan sistem permudaan dengan trubusan pada hutan rakyat perlu diketahui karakteristik pertumbuhan setiap jenis serta kemampuannya untuk menghasilkan trubusan. Pencampuran setiap jenis pun harus memperhatikan karakteristik pertumbuhan tanaman, sehingga tanaman tersebut dapat tumbuh baik secara bersamaan.
Pemilihan jenis juga sangat tergantung pada produk kayu yang diinginkan. Untuk tujuan kayu bakar sebaiknya dipilih jenis-jenis yang mempunyai persyaratan cepat tumbuh, menghasilkan tunas baru bila dipangkas dan mempunyai nilai kalori panas yang tinggi. Lamtoro gung (Leucaena leucocephala), akor (Acacia auiculiformis), kaliandra (Caliandra calothyrsus), gamal (Glirisidae maculata) merupakan beberapa contoh jenis yang sesuai untuk tujuan kayu bakar. Sedangkan untuk kayu pertukangan, selain mampu mengeluarkan trubusan pada tunggak sisa tebangan, jenis tersebut juga mempunyai nilai ekonomis tinggi, cepat tumbuh, berkualitas batang baik, produksinya tinggi dan nilai pasarnya cukup baik. Jenis yang dianjurkan adalah: jati (Tectona grandis), sengon (Paraserianthes falcataria), sonokeling (Dalbergia latifolia) dan sungkai (Peronema canescens).
Beberapa jenis tanaman pada hutan rakyat yang cukup baik dikembangkan dengan sistem permudaan dengan trubusan tersaji pada Tabel 2.
Tabel 2. Beberapa jenis pohon yang dapat dipermudakan dengan trubusan
No.
|
Nama jenis
|
Kemampuan trubusan
|
Sifat tumbuh
|
Peruntukan
|
1.
|
Acacia auriculiformis (akor)
|
rendah
|
tumbuh cepat
|
Kayu pertukangan, k. serat, k. bakar
|
2.
|
Calliandra callothyrsus Meissn. (kaliandra)
|
tinggi
|
tumbuh cepat
|
Kayu bakar, pakan ternak
|
3.
|
Cassia siamea Lamk (johar)
|
Sedang
|
sedang
|
Kayu pertukangan, k. bakar, pakan ternak
|
4.
|
Eucalyptus deglupta Blume (leda)
|
Rendah
|
tumbuh cepat
|
Kayu pertukangan, k. serat
|
5.
|
Gliricidae maculate (gamal)
|
Tinggi
|
tumbuh cepat
|
Kayu bakar, pakan ternak
|
6.
|
Gmelina arborea Roxb.(gmelina)
|
Sedang
|
tumbuh cepat
|
Kayu pertukangan, ky. bakar
|
7.
|
Leucaena leucephala syn Leucaena
glauca (lamtoro gung)
|
Tinggi
|
tumbuh cepat
|
Kayu bakar, pakan ternak
|
8.
|
Paraserianthes falcataria L. Nielsen (sengon)
|
Sedang
|
tumbuh cepat
|
Kayu pertukangan, ky. bakar, pakan ternak
|
9.
|
Peronema canescens Jack. (sungkai)
|
Tinggi
|
tumbuh cepat
|
Kayu pertukangan, ky. bakar
|
10.
|
Sesbania grandiflora (turi)
|
Rendah
|
tumbuh cepat
|
Kayu serat, ky. bakar, pakan
ternak
|
11.
|
Tectona grandis L.(jati)
|
Sedang
|
sedang
|
Kayu pertukangan, ky. bakar
|
Permudaan dengan trubusan termasuk pembiakan vegetatif dimana sifat keturunannya akan persis sama dengan induknya. Sehingga untuk mendapatkan produktifitas tanaman yang tinggi dan menjamin keragaman genetik pada suatu lahan, perlu diupayakan penggunaan benih tanaman bermutu dan unggul serta varietas-varietas yang cukup beragam pada setiap spesies yang dikembangkan. Menurut Nyland (2001) untuk menjamin keragam genetik dalam suatu lahan, maka penanaman campuran dari beberapa provenans juga dapat dilakukan. Cara ini diharapkan dapat melindungi serangan hama dan penyakit yang mungkin terjadi dan mengakomodir adanya variasi kondisi tanah yang beragam.
Menurut Sudrajat dan Abidin (2006) kelemahan pengembangan hutan rakyat selama ini bila ditinjau dari pengadaan benih/bibit adalah umumnya bibit yang ditanam berasal dari benih yang berkualitas rendah bahkan seringkali berasal dari semai liar yang tumbuh secara alami. Adanya dugaan kurang luasnya basik genetik dari jenis-jenis yang didomestikasi seringkali juga menyebabkan kegagalan tanaman. Sebagai contoh tanaman lamtoro gung yang pernah gagal akibat serangan kutu loncat, sengon yang rentan serangan hama dan penyakit serta A. auriculiformis yang mempunyai bentuk batang bengkok menurut Sabanurdin (1999 dalam Sudrajat dan Abidin, 2006) diduga akibat sempitnya basik genetik jenis-jenis eksotik yang telah lama diintroduksi di Indonesia.
Selain itu, beberapa upaya yang perlu dilakukan untuk meningkatkan kualita tegakan adalah petani dapat menanam tegakan baru dari jenis-jenis yang mudah memunculkan trubusan dan memilih provenans tertentu yang diketahui mempunyai potensi memunculkan trubusan tinggi, pertumbuhan yang bagus dan sistem perakaran yang menjangkar ke tanah (Nyland, 2001). Untuk mengatasi kebutuhan benih bermutu dalam jangka pendek, dapat digunakan benih yang berasal dari sumber benih desa yang berupa pohon-pohon atau tegakan plus (superior) sebagai sumber benih (Sudrajat dan Abidin, 2006).
Lebih lanjut dikemukakan oleh Nyland (2001), pada hutan rakyat dengan tujuan produknya untuk kayu serat, maka penjarangan tidak dilakukan. Namun demikian pembebasan antara terkadang diperlukan untuk menjaga kesehatan tegakan. Pada beberapa kasus, petani hanya menunggu sampai tegakan mencapai riap tahunan (MAI) maksimum kemudian memanen untuk mendapatkan trubusan kembali. Untuk tujuan kayu pertukangan, pemilik dapat mengembangkan rotasi tanaman asal trubusan dengan menyesuaikan riap tahunan yang sesuai bagi kayu pertukangan untuk menentuan umur rotasi yang tepat. Penjarangan individu dapat dilakukan untuk meningkatkan pertumbuhan tanaman dengan disesuaikan analisis ekonominya. Sedangkan untuk kayu bakar, tanaman pagar dan sejenisnya, prinsip yang sama dapat digunakan. Panjang rotasi tanaman dapat ditentukan ketika MAI suatu produk mencapai puncaknya terutama untuk tegakan-tegakan tanpa penjarangan.
PROSPEK TRUBUSAN UNTUK PERMUDAAN HUTAN RAKYAT
Beberapa kelebihan pemanfaatan trubusan untuk sistem permudaan pada hutan rakyat adalah dapat mengurangi biaya pembuatan tanaman karena biaya persiapan lahan dan pembuatan bibit baru dapat dihemat. Erosi tanah dapat dikurangi karena pengolahan tanah lebih sedikit dilakukan, serta rotasi tanaman dapat diperpendek karena sistem perakaran tanaman yang telah berkembang di dalam tanah akan mempercepat pertumbuhan trubusan.
Nyland (2001) juga mengemukakan beberapa kelebihan sistem permudaan dengan trubusan antara lain adalah:
- metode yang digunakan lebih simpel yaitu tebang habis yang didukung regenerasi yang murah dan cepat
- secara efektif dapat meregenerasi suatu lahan dengan beragam ukuran tanpa tergantung pada suatu sumber benih
- dapat memproduksi trubusan berlimpah dengan kecepatan pertumbuhan tinggi dan produktifitas tahunan per unit area tinggi
- memungkinkan pemilik untuk memproduksi jenis-jenis kayu serat dan kayu bakar dengan volume yang tinggi melebihi umumnya tanaman rotasi pendek
- meminimalkan gangguan penyakit yang berhubungan dengan rotasi yang panjang dan banyaknya pohon-pohon tua
- memproduksi tegakan dengan tingkat keseragaman yang tinggi yang memungkinkan penggunaan sistem mekanisasi dalam pemanenan
- mendukung pengelolan tegakan dengan umur beragam pada lahan-lahan yang berdampingan sehingga dapat menunjang kehidupan satwa liar
Hasil penelitian Jariyah dan Wahyuningrum (2008) pada beberapa hutan rakyat di Jawa Barat (Sumedang, Majalengka dan Cirebon), di Jawa Tengah (Semarang, Gunung Kidul, Pemalang dan Magelang) serta di Jawa Timur (Nganjuk dan Tulung Agung) menunjukkan bahwa pada beberapa jenis tanaman seperti: mahoni, jati, sengon, dan suren umumnya dilakukan dengan bibit dan trubusan. Permudaan secara alami dengan anakan dan trubusan lebih banyak dilakukan karena biaya yang dikeluarkan tidak banyak. Kadang petani melakukan penanaman dengan bibit jika mereka ingin menanam tanaman baru atau menanam jenis yang unggul.
Perum Perhutani saat ini juga mulai mengkaji kemungkinan penggunaan trubusan untuk memperpendek umur rotasi tanaman jati dari 70 tahun menjadi hanya 20 tahun saja dengan sistem pemeliharaan trubusan. Di KPH Nganjuk Jawa Timur sistem ini mulai dipraktekkan untuk mengatasi tingkat gangguan perusakan tanaman yang tinggi oleh masyarakat. Karena jati termasuk jenis yang mudah memunculkan trubusan pada tunggak bekas tebangan,maka untuk menghasilkan 1 trubusan jati dengan batang lurus, bebas cabang tinggi dan diameter yang besar, perlu dilakukan penunggalan batang (singling) secara rutin setiap tumbuh trubusan baru agar pertumbuhan pohon terpusat pada trubusan yang dipilih. Trubusan yang dipelihara selama 6 bulan, tingginya sama dengan pohon jati yang berusia 4 tahun yang ditanam dari biji. Riap diameter tanaman dari trubusan ini juga lebih tinggi yaitu sekitar 2-3 cm per tahun, sedangkan tanaman asal biji hanya 1-2 cm per tahun. Trubusan ini akan semakin cepat besar jika diberi pupuk dan dirawat dengan baik. Trubusan berusia 3 tahun, sudah hampir sama besarnya dengan tanaman jati usia 10 tahun.
Gambar 4. Pembinaan jati trubusan
Sengon juga salah satu jenis
tanaman hutan rakyat yang saat ini banyak dipermudakan dengan trubusan. Dari
satu tunggul sengon dapat muncul 4-5 (Siregar et al., 2008) sedangkan menurut Warisno dan Dahana (2009) dapat muncul
1-10 trubusan. Karena dari beberapa trubusan umumnya hanya disisakan 1 batang
terbaik untuk dipelihara, maka trubusan-trubusan yang lain dapat dicangkok
untuk bahan tanaman berikutnya. Trubusan yang dapat dicangkok umumnya mempunyai
ukuran diameter pangkal sekitar 5 cm. Tanaman
hasil cangkokan dapat langsung ditanam atau atau dipindahkan terlebih dahulu ke
polibag. Trubusan yang siap dicangkok menurut Warisno dan Dahana (2009) harus
memenuhi syarat antara lain:
-
diameter
batang antara 1-2 cm dengan tinggi sekitar 15 cm
-
batang
telah berwarna kecoklatan, yang menunjukkan batang telah berkayu sempurna
-
pertumbuhan
trubusan sempurna dan tidak terserang hama/penyakit.
Sumber : dikutif dari berbagai sumber.
No comments:
Post a Comment