Tuesday, January 31, 2017

Owa Jawa Di Gunung Puntang Malabar : Lambang Kesetiaan yang Terancam Punah

Mengenal  Owa Jawa

Owa Jawa (Hylobates moloch) termasuk salah satu primata yang paling terancam kepunahan terutama dari hilangnya habitat akibat  pembukaan hutan untuk berbagai keperluan.  Sebab lain Owa Jawa kerapkali ditangkap  untuk  diperjual-belikan masyarakat. Organisasi konservasi  dunia  IUCN  memasukkan  Owa Jawa ke dalam kategori species terancam  (kepunahan) (EN, endangered species), dengan peluang sebesar 50%. Hewan ini akan dapat punah  dalam  satu decade mendatang.

Owa Jawa (Hylobates moloch) merupakan primata berukuran kecil (panjang tubuh hanya sekitar 80 cm) dan langsing (berat berkisar 4-8 kg) dengan bulu berwarna kecoklatan hingga abu-abu keperakan menutupi tubuhnya. Bagian atas kepala hingga muka berwarna hitam pekat dengan alis berwarna abu-abu, atau menyerupai warna bulu tubuh, sedang di bagian dagu beberapa individu berwarna lebih gelap. Owa Jawa tidak mempunyai ekor.


Owa Jawa kini hanya dapat ditemukan dalam jumlah kecil di kawasan konservasi di tiga taman nasional dan sekitar 30 cagar alam di wilayah Jawa Barat dan Jawa Tengah. Di Jawa Barat, Owa Jawa dapat ditemukan di kawasan konservasi Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP) yang menjadi salah satu benteng terakhir keberadaan satwa liar tersebut.

Di taman nasional seluas 15.000 hektar itu, Owa Jawa diperkirakan tinggal 300 ekor. Di di Pusat Rehabilitasi dan Penyelamatan Owa Jawa Bodogol (masih di wilayah TNGGP), dipelihara sejumlah Owa Jawa yang kemudian dilakukan upaya perjodohan diantaranya sebelum dilepas di alam liar. Hal ini dilakukan dengan pertimbangan selain hewan yang bersifat monogami, Owa Jawa tidak akan dapat bertahan bila dilepas di hutan tanpa berpasangan karena terkait proses perkawinan dan perlindungan wilayah. (sains.kompas.com; Habitat Owa Jawa Dipulihkan; 26 April 2010)


Owa Jawa Adalah Simbol Kelestarian Hutan Dan Lambang Kesetiaan

Salah satu keanekaragaman hayati yang memiliki peran penting dalam memelihara fungsi ekosistem hutan tropis di pulau Jawa adalah owa jawa (Hylobates moloch).  Merupakan satwa primata endemik pulau Jawa,  sebagian besar populasi owa jawa saat ini mendiami hutan-hutan dataran rendah dan tinggi di Jawa bagian barat, dan hanya sebagian kecil ditemukan di  Jawa bagian tengah.
Sebagai primata arboreal yang melakukan seluruh aktivitas hidupnya di pohon,  kelangsungan hidup owa jawa di alam sangat bergantung pada tegakan pohon dengan tajuk menyambung. Dengan demikian, kehadiran owa jawa dapat dijadikan indikator kondisi hutan yang sehat dan terjaga baik. Selain itu,  sebagai satwa pemencar biji, owa jawa berperan penting menjaga siklus dan regenerasi ekosistem hutan.

Selain menjadi simbol kelestarian hutan, owa jawa juga menjadi model sistem sosial yang menjunjung tinggi nilai kesetiaan dan gotong-royong. Berbeda dengan sebagian besar primata, owa jawa menganut sistem perkawinan  monogami dan hidup dalam unit keluarga yang erat. Keluarga owa jawa terdiri dari sepasang induk dengan 1-3 anak yang dilahirkan setiap 2-3 tahun sekali. Bersifat teritori dan akan melindungi teritorinya dengan berbagai cara, di antaranya menggunakan suara oleh betina pada pagi hari (morning call). Sebagai pemakan buah atau frugivora, owa jawa mengandalkan dukungan setiap anggota keluarga untuk mencari dan mempertahankan sumber pakan yang memang lebih sulit diperoleh dibandingkan daun yang lebih melimpah. Dengan demikian, perburuan yang masih marak terjadi menjadi ancaman yang luar biasa bagi keberadaannya, mengingat penangkapan satu anak owa jawa juga berarti mengorbankan induk dan anggota keluarga yang lain.

Owa Jawa Dilindungi Undang-Undang

Meskipun owa jawa telah dilindungi oleh undang-undang, populasinya di alam terus menyusut. Selain kerusakan habitat, owa jawa di habitat alaminya juga terancam oleh aktivitas perburuan dan perdagangan untuk menjadikannya satwa peliharaan. Dalam Daftar Merah World Conservation Union (The IUCN Red List of Threatened Species) owa jawa dikategorikan sebagai satwa terancam punah (Endangered species) dan termasuk dalam daftar  Appendix I CITES (Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora).

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan telah menetapkan owa jawa sebagai salah satu satwa prioritas tinggi untuk di konservasi.  Strategi dan rencana aksi konservasi owa jawa yang dirumuskan para pemangku kepentingan pada bulan Nopember 2008, menghasilkan serangkaian rekomendasi aksi antara lain: konservasi in-situ dan ex situ, penelitian dan pengembangan, penegakan hukum,  pendidikan dan penyadaran konservasi, pendanaan konservasi. Salah satu  strategi konservasi yang  saat ini perlu dilakukan adalah menyelamatkan owa jawa dari perdagangan dan peliharaan masyarakat, dan mengembalikannya ke alam. Upaya rehabilitasi dan reintroduksi direkemendasikan para ahli primata dunia sebagai langkah strategis untuk menyelamatkan owa jawa dari kepunahan.


Habitat dan Populasi Owa Jawa

Habitat yang disukai Owa Jawa adalah hutan dataran rendah dengan pohon-pohon yang rapat. Sebagai kera pohon sejati (arboreal monkey), hampir sepanjang hidupnya Owa Jawa tidak pernah turun dari atas pohon. Namun meski demikian, primata ini justru termasuk jenis kera yang berjalan tegak, tidak menggunakan keempat tangan dan kakinya, melainkan hanya menggunakan kedua kakinya untuk berjalan. Owa Jawa termasuk jenis satwa diurnal (beraktifitas di siang hari). Makanannya meliputi buah-buahan, dedaunan, dan serangga. Dalam mencari makan, Owa Jawa selalu berpindah-pindah secara berkelompok menjelajah dari satu pohon ke pohon lainnya dalam daerah teritorialnya. Suara khas yang dikeluarkan Owa Jawa menjadi penanda wilayah teritorial suatu kawanan. Salah satu kelebihan primata ini adalah sifatnya yang monogami, yaitu hanya mempunyai satu pasangan semasa hidupnya. Dalam satu kesatuan keluarga selalu hanya di terdiri atas si jantan sebagai bapaknya, induk dan dua anak saja. Tidak pernah lebih. (www.conservation.org; Owa Jawa di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango; Anton Ario dkk (Editor); 2011)

Sayangnya, saat ini populasi Owa Jawa semakin menurun. IUCN (International Conservation Union of Nature) memasukkan primata ini dalam status konservasi “critical endangered species” alias terancam punah.

Pada tahun 2010, populasi Owa Jawa diperkirakan hanya tinggal 2.000 ekor saja di alam bebas. Penyebab utama semakin langkanya Owa Jawa adalah karena berkurangnya habitat yang diakibatkan oleh kerusakan hutan dan konversi hutan menjadi lahan pertanian. Kondisi hutan yang kritis menjadikan habitat Owa Jawa terfragmen (terpisah-pisah) sehingga mengakibatkan area jelajah primata ini menyempit serta tumpang tindih dengan kelompok Owa Jawa lainnya. Rantai regenenerasi pun akhirnya akan terputus karena Owa Jawa akan kesulitan untuk mengembangkan kelompoknya ataupun dipersatukan dengan kelompok Owa Jawa lainnya. Selain setia dengan pasangannya, Owa Jawa juga satwa yang setia dan mencintai wilayah teritorialnya sehingga meski wilayahnya habis terkikis, namun mereka akan tetap tinggal dan tidak mau berpindah. Kematian akibat kekurangan bahan makanan sulit dihindari dan hal ini semakin mempercepat berkurangnya populasi Owa Jawa. Selain itu, perburuan liar juga ikut andil memperburuk keadaan. Seringkali perburuan tersebut dilakukan  dengan cara menembak mati indukan dan kemudian mengambil anak Owa Jawa untuk dipelihara maupun diperdagangkan.


Pusat Rehabilitasi Owa Jawa

Salah satu yang peduli dengan keberadan owa jawa adalah Pusat Penyelamatan dan Rehabilitasi Owa Jawa (Javan Gibbon Center/JGC) yang dikelola Yayasan Owa Jawa (YOJ) sejak tahun 2012.
JGC telah menerima owa Jawa yang berasal dari masyarakat sejak tahun 2003. Owa Jawa tersebut kemudian menjalani proses rehabilitasi cukup panjang untuk pemulihan kesehatan dan mengembalikan perilaku alaminya pasca dipelihara manusia dalam kandang. Sebagian besar owa jawa bahkan tidak mampu mengeluarkan nyanyian  panjang  (morning call) pada saat pertama kali tiba di JGC, padahal kemampuan tersebut sangat diperlukan  untuk menandai daerah tempat tinggalnya di alam.

Di JGC kemampuan bersuara,  bergerak di atas pohon, dan bersosialisasi dengan owa lain merupakan keahlian perilaku yang diaktifkan kembali setelah hilang di bawah pemeliharaan  masyarakat. Proses rehabilitasi Owa Jawa diperlukan agar saat  dikembalikan ke habitat alaminya dapat menyesuaikan dengan keadaan habitatnya.

Konservasi Owa Jawa ini merupakaan bagian dari upaya untuk mempertahankan kualitas kawasan hutan lindung melalui pengembangan spesies liar.  Upaya tersebut diharapkan dapat menjaga keseimbangan ekosistem sumberdayahutan. Kawasan Hutan Lindung Gunung Malabar dipilih sebagai tempat pelepasliaran setelah melalui serangkaian survei kelayakan habitat untuk memastikan ketersediaan pohon pakan dan keamanan.

Program ini juga merupakan contoh public-private partnership yang dipercaya menjadi dasar pembangunan hutan berkelanjutan.

Keberadaan pusat rehabilitasi di beberapa wilayah konservasi Owa Jawa tentunya harus disadari tidak cukup besar efeknya dalam upaya melestarikan Owa Jawa. Sinergi yang baik antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah yang
mempunyai populasi Owa Jawa di wilayahnya terkait dengan kebijakan-kebijakan yang berorientasi pada usaha pelestarian Owa Jawa diharapkan semakin solid. Selain itu, kepedulian seluruh lapisan masyarakat untuk ikut serta dalam usaha pelestarian ini sangat diharapkan.

Sebagai salah satu elemen bangsa yang sadar akan pelestarian kekayaan hayati di negeri ini, Perhutani ikut berperan aktif dalam menjaga keberadaan Owa Jawa, satwa lambang kesetiaan yang hampir punah.


Pelepasan Owa Jawa (Hylobates moioch) di Gunung Malabar dan Peran Perum Perhutani


Perhutani bekerjasama dengan Kementerian Lingkungan Hidup & Kehutanan dan Pusat Penyelamatan dan Rehabilitasi Owa Jawa (Javan Gibbon Center/JGC) yang dikelola Yayasan Owa Jawa (YOJ) sejak tahun 2012

Pada tanggal 13 Agustus 2012, Direktur Utama Perum Perhutani, Dr. Ir. Bambang Sukmananto, MSc., dan Ketua Pembina Yayasan Owa Jawa (Hylobates moloch), Ir. Wahjudi Wardojo, MSc, telah menandatangani nota kesepahaman kerjasama pelestarian Owa Jawa, disaksikan oleh Direktur Jenderal Pelestarian Hutan dan Konservasi Alam (PHKA) Kementerian Kehutanan Ir. Darori, MM. Wahjudi menyatakan kerjasama dengan Perhutani memang mutlak diperlukan karena Owa Jawa hanya hidup di Pulau Jawa bagian barat hingga wilayah Pekalongan Selatan saja.

Sementara itu Dirjen PHKA Kementerian Kehutanan, Ir. Darori, MM., menyampaikan ucapan terima kasih atas peran Perhutani melindungi habitat Owa Jawa yang hampir punah. Sesuai PP No. 72 Tahun 2010 yang menyatakan bahwa Perum Perhutani diberi kewenangan yang cukup luas dalam mengelola sumber daya hutan dengan prinsip pelestarian dengan 3 aspek, yaitu people, planet dan profit.

Perhutani selama ini mengelola hutan bukan saja menangani profit, tetapi aspek konservasi sumberdaya alam hayati termasuk pelestarian satwa juga menjadi komitmen dan tanggungjawab Perhutani. 

Langkah Perhutani ikut serta melakukan tindakan nyata melestarikan eksistensi Owa Jawa merupakan sebuah wujud kepedulian dan rasa ikut bertanggung jawab dalam menjaga keseimbangan alam yang telah memberikan banyak hal terhadap kelangsungan peradaban. Kelestarian alam menjadi tanggung jawab seluruh elemen bangsa, sehingga keanekaragaman hayati dan kekayaan alam negeri ini masih dapat dilihat dan dinikmati anak cucu kita di kemudian hari.

Konservasi owa jawa di Hutan Lindung Malabar wilayah Perhutani merupakan salah satu bentuk tanggungjawab Perum Perhutani dalam melestarikan satwa kebanggaan Indonesia melalui pengelolaan hutan lestari.

Dengan adanya keluarga Owa Jawa ini, hutan lindung Gunung Malabar dapat dikembangkan sebagai salah satu kawasan wisata minat khusus yang mendatangkan manfaat langsung bagi masyarakat di sekitarnya.

Ketua pengurus Yayasan Owa Jawa Noviar Andayani, upaya konservasi owa jawa di tengah tekanan pembangunan ekonomi Pulau Jawa bukan perkara mudah. Dukungan semua pihak untuk menyelamatkan primata ini dari kepunahan sangat diperlukan. Program konservasi ini dapat menjadi contoh kemitraan yang kuat antara penggiat konservasi dengan sektor bisnis, pemerintah daerah dan masyarakat.


Perum Perhutani  telah melepasliarkan untuk ke empat kalinya sebanyak 13 ekor ke habitat alami di Gunung Puntang kawasan Hutan Lindung Gunung Malabar Kabupaten Bandung, Jawa Barat

Pelepasan Owa Jawa  :
1)    15 Juni 2013 telah dilepasliarkan sepasang Owa Jawa bernama Kiki dan Sadewa
2)    27 Maret 2014 dilepasliarkan satu keluarga Owa jawa, Bombom (betina), Jowo (jantan) dan kedua anak mereka Yani (betina) dan Yudi (jantan) 
3)    24 April 2015 bertepatan dengan penutupan Konfrensi Asia Afrika dilepasliarkan ke tiga kalinya dua pasang Owa Jawa, yaitu pasangan pertama Robin (jantan) dan Moni (betina) dan pasangan kedua Moli (jantan) dan Nancy (betina)
4)    10 Agustus 2016 dilepasliarkan satu keluarga Owa jawa, Mel (Betina), Pooh (Jantan) dan Asri (Betina)

Jumlah owa jawa yang dilepasliarkan sebanyak 13 ekor  :
2013  : 2 ekor  ( 1 pasang)
2014  : 4 Ekor  (1 pasang dan 2 Anak)
2015  : 4 Ekor  (2 pasang)
2016  : 3 Ekor  (1 pasang dan 1 Anak)









Dari berbagai Sumber  : www.perhutani.co.id , Majalah Duta Rimba


Situs Tulang Bawang Kabupaten Kendal




Dari Ngalap Berkah Hingga Judi Togel

SUNGGUH pagi itu suasana di sekitar hutan jati kawasan Boja Kendal masih sangat sangat sunyi. Hanya ada beberapa sepeda motor dan mobil bak terbuka yang melintas di jalan raya Boja – Kendal ini.


Menuju situs, dari pinggir jalan sudah terpampang papan nama situs Tulang Bawang ini.  Jalanannya menurun tajam menembus hutan jati yang sudah dibeton. Saya pikir turunnya jauh, namun ternyata hanya 500 meter – an dari jalan raya utama. Benar saja, begitu sampai lokasi, hanya ada beberapa orang  yang berkunjung, Mungkin saat itu masih sangat pagi, karena jarum jam di tangan baru menunjukkan pukul 5.30 WIB.





Petilasan tulang bawang merupakan salah satu  dari 14 situs budaya yang terdapat dalam wilayah hutan KPH Kendal,  terletak pada petak 15f RPH Darupono BKH Boja, masuk wilayah administratif desa Darupono Kecamatan Kaliwungu Selatan Kabupaten Kendal. Lokasi situs tersebut merupakan LDTI  (Lapangan Dengan Tujuan Istimewa ) dengan luas 0,2 hektare. 

Berdasarkan legenda masyarakat Desa Darupono, situs Petilasan Tulang Bawang dipercaya sebagai tempat peristirahatan Kyai Tulang Bawang, Yakni seseorang pengembara pada masa lalu yang datang ke Desa Darupono, kemudian membuka areal persawahan di Desa tersebut.

Di Desa Darupono pada zaman dahulu sulit untuk memperoleh air karena tidak adanya sumber-sumber air terdekat yang memadai. Di sekitar lokasi persawahan yang dahulunya dibuka oleh Tulang Bawang terdapat parit yang diyakini sebagai jejak peninggalan dari Tulang Bawang. Pada parit tersebutlah Tulang Bawang mengalirkan air dari sumbernya pada petak 56 RPH Trayu BKPH Boja untuk mengaliri sawah yang digarapnya. Sebelum memperoleh sumber mata air tersebut ,
Tulang Bawang bernadhar bahwa akan menyembelih kambing yang pada bagian tubuhnya (dari punggung hingga perut) berwarna putih (wedus kendih), bilamana memperoleh air untuk mengaliri sawah di Desa Darupono. Pada saat nadharnya terwujud, Tulang Bawang kemudian menyembelih seekor kambing (wedus kendih) sebagai rasa syukur, di tempat yang sekarang ini dipercayai sebagai petilasannya.

Bagi sebagian besar penduduk Desa Darupono, situs Petilasan Tulang Bawang dianggap sebagai tempat yang sakral dan bahkan dikeramatkan. Hingga saat ini tempat tersebut sering kali dikunjungi oleh penduduk desa sekitar, bahkan ada yang datang dari daerah lainnya, antara lain : Magelang, Brebes, dan Tegal. Pada hari-hari tertentu, seperti malam Selasa dan Jumat Kliwon tempat ini ramai didatangi oleh pengunjung yang ingin meminta berkah”Ngalap Berkah” dan petunjuk “Wangsit”.

Bagi warga setempat yang akan melangsungkan hajatan berupa sunatan atau pernikahan, biasanya akan melakukan syukuran dengan menyediakan sesajen di lokasi situs Tulang Bawang, bahkan ada yang memasak hidangan di lokasi situs tersebut. Sebagian besar penduduk Desa Darupono mempercayai bahwa situs Petilasan Tulang Bawang merupakan tempat yang harus tetap dijaga kelestariannya dan tidak boleh melanggar beberapa pantangan, antara lain menyelah air yang digunakan untuk memasak karena acapkali keruh atau manakala niat sudah tercapai tetapi lupa memberikan sesajen, Bilamana melanggar pantangan diyakini akan mendatangkan kesialan berupa penyakit dan bahkan ada yang menjadi terganggu kesadarannya/ sakit ingatan.

Situs tulang bawang ini pada malam Selasa dan Jumat Kliwon  selalu ramai dikunjungi peziarah dengan maksud dan tujuan tertentu. Bahkan bagi orang yang mempercayainya, dengan ritual tertentu di sumber mata air yang tidak pernah kering yang ada di lokasi objek situs ini konon dapat memberikan angka-angka yang jitu untuk “Togel Singapura” maupun “Togel Hongkong”. Konon Judi yang dilarang di Indonesia ini buka setiap hari, oleh karena itu masih ada saja orang-orang yang berkunjung ke situs ini untuk meminta nomer “Togel” pada yang mbaurekso situs ini. Orang-orang yang menginginkan kekayaan dalam sekejap tanpa mau bekerja keras ternyata masih banyak kita temui di masyarakat kita.

Bagi sebagian orang, mungkin tempat wisata seperti ini kurang menarik, namun setidaknya keberadaan situs ini semakin melengkapi keragaman tempat wisata yang dimiliki oleh Perum Perhutani.  (Sumber Majalah Duta Rimba)