Kisah di bawah ini adalah kisah yang saya dapat dari milis alumni
Prasetiya Mulia Business School.
Demikian layak untuk dibaca beberapa menit, dan direnungkan seumur
hidup.
..................................................................
Saya adalah ibu dari tiga orang anak dan baru saja menyelesaikan kuliah
saya.
Kelas terakhir yang harus saya ambil adalah Sosiologi. Sang Dosen
sangat inspiratif, dengan kualitas yang saya harapkan setiap orang memilikinya.
Tugas
terakhir yang diberikan ke para siswanya diberi nama “Smiling.” Seluruh
siswa diminta untuk pergi ke luar dan memberikan senyumnya kepada tiga orang
asing yang ditemuinya dan mendokumentasikan reaksi mereka.
Setelah itu setiap siswa diminta untuk mempresentasikan didepan kelas.
Saya adalah seorang yang periang, mudah bersahabat dan selalu tersenyum pada
setiap orang. Jadi, saya pikir,tugas ini sangatlah mudah.
Setelah menerima tugas tsb, saya bergegas menemui suami saya dan anak
bungsu saya yang menunggu di taman di halaman kampus, untuk pergi kerestoran McDonald’s
yang berada di sekitar kampus. Pagi itu udaranya sangat dingin dan kering.
Sewaktu suami saya akan masuk dalam antrian, saya menyela dan meminta agar dia
saja yang menemani si Bungsu sambil mencari tempat duduk yang masih kosong.
Ketika saya sedang dalam antrian, menunggu untuk dilayani, mendadak
setiap orang di sekitar kami bergerak menyingkir, dan bahkan orang yang semula
antri
dibelakang saya ikut menyingkir keluar dari antrian.
Suatu perasaan panik menguasai diri saya, ketika berbalik dan melihat
mengapa mereka semua pada menyingkir? Saat berbalik itulah saya membaui suatu
“bau badan kotor” yang cukup menyengat, ternyata tepat di belakang saya berdiri
dua orang lelaki tunawisma yang sangat dekil! Saya bingung, dan tidak mampu
bergerak sama sekali.
Ketika saya menunduk, tanpa sengaja mata saya menatap laki-laki yang
lebih pendek, yang berdiri lebih dekat dengan saya, dan ia sedang “tersenyum”
ke arah saya. Lelaki ini bermata biru, sorot matanya tajam, tapi juga
memancarkan kasih sayang. Ia menatap kearah saya, seolah ia meminta agar saya
dapat menerima ‘kehadirannya di tempat itu.
Ia menyapa “Good day!” sambil tetap tersenyum dan sembari menghitung
beberapa koin yang disiapkan untuk membayar makanan yang akan dipesan. Secara
spontan saya membalas senyumnya, dan seketika teringat oleh saya ‘tugas’ yang
diberikan oleh dosen saya. Lelaki kedua sedang memainkan tangannya dengan
gerakan aneh berdiri di belakang temannya. Saya segera menyadari bahwa lelaki
kedua itu menderita defisiensi mental, dan lelaki dengan mata biru itu adalah
“penolong”nya. Saya merasa sangat prihatin setelah mengetahui bahwa
ternyata dalam antrian itu kini hanya tinggal saya bersama mereka, dan kami
bertiga tiba2 saja sudah sampai didepan counter.
Ketika wanita muda di counter menanyakan kepada saya apa yang ingin
saya pesan, saya persilahkan kedua lelaki ini untuk memesan duluan. Lelaki
bermata biru segera memesan “Kopi saja, satu cangkir Nona.”
Ternyata dari koin yang terkumpul hanya itulah yang mampu dibeli oleh
mereka (sudah menjadi aturan direstoran disini, jika ingin duduk di dalam
restoran dan menghangatkan tubuh, maka orang harus membeli sesuatu). Dan
tampaknya kedua orang ini hanya ingin menghangatkan badan.
Tiba2 saja saya diserang oleh rasa iba yang membuat saya sempat terpaku
beberapa saat, sambil mata saya mengikuti langkah mereka mencari tempat
duduk yang jauh terpisah dari tamu2 lainnya, yang hampir semuanya sedang
mengamati mereka. Pada saat yang
bersamaan, saya baru menyadari bahwa saat itu semua mata di restoran itu juga
sedang tertuju ke diri saya, dan pasti juga melihat semua ‘tindakan’ saya.
Saya baru tersadar setelah petugas di counter itu menyapa saya untuk
ketiga kalinya menanyakan apa yang ingin saya pesan. Saya tersenyum dan minta
diberikan dua paket makan pagi (diluar pesanan saya) dalam nampan terpisah.
Setelah membayar semua pesanan, saya minta bantuan petugas lain yang
ada di counter itu untuk mengantarkan nampan pesanan saya ke meja/tempat duduk
suami dan anak saya.
Sementara saya membawa nampan lainnya berjalan melingkari sudut ke arah
meja yang telah dipilih kedua lelaki itu untuk beristirahat. Saya letakkan
nampan berisi makanan itu di atas mejanya, dan meletakkan tangan saya di atas
punggung telapak tangan dingin lelaki bemata biru itu, sambil saya berucap
“makanan ini telah saya pesan untuk kalian berdua.”
Kembali mata biru itu menatap dalam ke arah saya, kini mata itu mulai
basah ber-kaca2 dan dia hanya mampu berkata “Terima kasih banyak, nyonya.” Saya
mencoba tetap menguasai diri saya, sambil menepuk bahunya saya berkata
“Sesungguhnya bukan saya yang melakukan ini untuk kalian, Tuhan yang telah
menggerakkan saya untuk menyampaikan makanan
ini kepada kalian.” Mendengar ucapan saya, si Mata Biru tidak kuasa menahan
haru dan memeluk lelaki kedua sambil terisak-isak. Saat itu ingin sekali
saya merengkuh kedua lelaki itu.
Saya sudah tidak dapat menahan tangis ketika saya berjalan meninggalkan
mereka dan bergabung dengan suami dan anak saya, yang tidak jauh dari tempat
duduk mereka. Ketika saya duduk suami saya mencoba meredakan tangis saya sambil
tersenyum dan berkata “Sekarang saya tahu, kenapa Tuhan mengirimkan dirimu
menjadi istriku, yang pasti, untuk memberikan ‘keteduhan’ bagi diriku dan
anak-2ku! ” Kami saling berpegangan tangan beberapa saat dan saat itu kami
benar2 bersyukur dan menyadari,bahwa hanya karena ‘anugerahNYA’ lah kami telah
mampu memanfaatkan ‘kesempatan’ untuk dapat berbuat sesuatu bagi orang lain
yang sedang sangat membutuhkan.
Ketika kami sedang menyantap makanan, dimulai dari tamu yang akan
meninggalkan restoran dan disusul oleh beberapa tamu lainnya, mereka satu
persatu menghampiri meja kami, untuk sekedar ingin ‘berjabat tangan’ dengan
kami. Salah satu diantaranya, seorang bapak, memegangi tangan saya, dan berucap
“Tanganmu ini telah memberikan pelajaran yang mahal bagi kami semua yang berada
disini, jika suatu saat saya diberi kesempatan olehNYA, saya akan lakukan
seperti yang telah kamu contohkan tadi kepada kami.”
Saya hanya bisa berucap “terimakasih” sambil tersenyum. Sebelum
beranjak meninggalkan restoran saya sempatkan untuk melihat kearah kedua lelaki
itu, dan seolah ada ‘magnit’ yang menghubungkan bathin kami, mereka langsung
menoleh ke arah kami sambil tersenyum, lalu melambai-2kan tangannya kearah
kami. Dalam perjalanan pulang saya merenungkan kembali apa yang telah saya
lakukan terhadap kedua orang tunawisma tadi, itu benar2 ‘tindakan’ yang tidak
pernah terpikir oleh saya.
Pengalaman hari itu menunjukkan kepada saya betapa ‘kasih sayang’ Tuhan
itu sangat HANGAT dan INDAH sekali! Saya kembali ke college, pada hari terakhir
kuliah dengan ‘cerita’ ini di tangan saya. Saya menyerahkan ‘paper’ saya kepada
dosen saya.
Dan keesokan harinya, sebelum memulai kuliahnya saya dipanggil dosen
saya ke depan kelas, ia melihat kepada saya dan berkata, “Bolehkah saya
membagikan ceritamu ini kepada yang lain?” dengan senang hati saya mengiyakan.
Ketika akan memulai kuliahnya dia meminta perhatian dari kelas untuk membacakan
paper saya. Ia mulai membaca, para siswapun mendengarkan dengan seksama cerita
sang dosen, dan ruangan kuliah menjadi sunyi.
Dengan cara dan gaya yang dimiliki sang dosen dalam membawakan
ceritanya, membuat para siswa yang hadir di ruang kuliah itu seolah ikut
melihat bagaimana sesungguhnya kejadian itu berlangsung, sehingga para siswi
yang duduk di deretan belakang didekat saya diantaranya datang memeluk saya
untuk mengungkapkan perasaan harunya.
Di akhir pembacaan paper tersebut, sang dosen sengaja menutup ceritanya
dengan mengutip salah satu kalimat yang saya tulis diakhir paper saya.
“Tersenyumlah dengan ‘HATImu’, dan kau akan mengetahui betapa ‘dahsyat’
dampak yang ditimbulkan oleh senyummu itu.”
Dengan caraNYA sendiri, Tuhan telah ‘menggunakan’ diri saya untuk
menyentuh orang-orang yang ada di McDonald’s, suamiku, anakku, guruku, dan
setiap siswa yang menghadiri kuliah di malam terakhir saya sebagai mahasiswi.
Saya lulus dengan 1 pelajaran terbesar yang tidak pernah saya dapatkan di
bangku kuliah manapun, yaitu: “PENERIMAAN TANPA SYARAT.”
Banyak cerita tentang kasih sayang yang ditulis untuk bisa diresapi
oleh para pembacanya, namun bagi siapa saja yang sempat membaca dan memaknai
cerita ini diharapkan dapat mengambil pelajaran bagaimana cara MENCINTAI
SESAMA, DENGAN MEMANFAATKAN SEDIKIT HARTA-BENDA YANG KITA MILIKI, dan bukannya
MENCINTAI HARTA-BENDA YANG BUKAN MILIK KITA, DENGAN MEMANFAATKAN SESAMA!
Jika anda menganggap bahwa
cerita ini telah menyentuh hati anda, teruskan cerita ini kepada orang2 terdekat
anda. Di sini ada ‘malaikat’ yang akan menyertai
anda, agar setidaknya orang yang membaca cerita ini akan tergerak
hatinya untuk bisa berbuat sesuatu (sekecil apapun) bagi sesama yang sedang
membutuhkan uluran tangannya!
Untuk berinteraksi dengan dirimu, gunakan nalarmu. Tetapi untuk
berinteraksi dengan orang lain, gunakan HATImu!
Orang yang kehilangan uang, akan kehilangan banyak, orang yang
kehilangan teman, akan kehilangan lebih banyak! Tapi orang yang kehilangan
keyakinan, akan kehilangan semuanya!
Belajarlah dari PENGALAMAN MEREKA, karena engkau tidak
dapat hidup cukup lama untuk bisa mendapatkan semua itu dari pengalaman dirimu sendiri