Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) VS Undang-Undang Kehutanan No 41
Mencermati kondisi terkini tentang konflik lahan dan reformasi agraria yang sekarang menghangat, ada beberapa hal yang sangat strategis bisa mempengaruhi eksistensi perusahaan kehutanan (dalam hal ini Perhutani) dan eksistensi kehutanan pada umumnya mengenai status UU Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan dan UUPA No 5 Tahun 1960.
Beberapa hal tsb diantaranya :
1. Penggiringan opini di media nasional bahwa yang menjadi "panglima" adalah UUPA, sementara UU lainya bersifat UU sektoral, termasuk UU 41 (Berita kompas).
2. Adanya penggiringan usulan agar di dalam RUU Desa, juga memasukan hak asal-usul termasuk dalam pengelolaan SDA di hutan jawa, bukan hanya bicara pemerintahan desa.
Berikut kutipan tweet salah satu penggiat reformasi agraria yang beredar di twitter (ditujukan ke akun salah satu anggota DPR) :
1. RUU Desa penting memuat bhw yang dimaksud dengan hak asal usul dalam pengelolaan SDA termasuk didalamnya adalah HUTAN JAWA
2. RUU Desa perlu memunculkan bahwa implementasi kelola SDA oleh desa diperlukan panitia landreform
3. RUU Desa jangan sampai hanya bicara tentang "pemerintahan desa" tetapi penting sekali untuk bicara kelola SDA termasuk hutan.
4. para pejuang agraria dan masyarakat adat harus memasukkan prinsip2 kelola SDA dalam RUU Desa
5. Kategori desa sangatlah beragam, seperti: desa asli, desa praja, desa otonom seperti kata..(Menyebut slh satu akun twitter)
Bagaimana Pihak kehutanan dalam hal ini Mentri Kehutanan dan Perum Perhutani menanggapi kedua fenomena tsb?
Hasil diskusi dengan Tim Pendamping Masyarakat dan tokoh masyarakat, salah satu tokoh di daerah konflik tenurial di cigaronggong garut yang pada mulanya menjadi tokoh yang didepan memusuhi Perhutani, sekarang setelah dibuka komunikasi intensif sdh menjadi tokoh yang merasa wajib untuk meluruskan pemahaman keliru tentang PHBM di masyarakatnya dan merintis pembentukan KTH.
Beberapa hal yang beliau sampaikan diantaranya :
bahwa dari amatan dan dan hasil menggeluti setelah intensif berkomunikasi dan mempraktekan di lapangan, Perhutani merupakan lembaga yang sudah melakukan reformasi yang bener2 reformasi, dilihat dengan model PHBM yang dikembangkan dengan model Hutan Pangkuan Desa (HPD), sistem sharing, penguatan kelembagaan dan ruang garapan untuk masyarakat (Dengan tambahan dr beliau, bahwa ini saya sampaikan bukan krn saya ngomong dengan orang Perhutani, ini saya sampaikan juga ke semua pihak termasuk masy yang sebagian skrg sdh membentuk KTH,bahkan kpd intel TNI yang bbrp waktu lalu dtg ke beliau).
- Terkait dengan rame2 UU PA, menurut beliau bahwa sistem yang dikembangkan Perhutani dengan PHBM, kalo di UUPA, sebenarnya apa yang disebut HAK KULAH (bhs di masyarakat, hak-ku untuk menggarap, tapi ulah dimiliki). Beliau paham krn dulu termasuk yang menyebarkan ke masyarakat tentang info2 tentang pemilikan lahan.
- Kalo dimana2 didengung2kan tanah untuk rakyat, sebenarnya itu juga hanya pengakuan saja, krn faktanya begitu ada redistribusi lahan di ciniti (pasir salam I), langsung para investor/kapitalis yang masuk, sehingga sekarang disana masyarakat menjadi kuli/buruh lagi, sementara pemilik lahan semua dr luar.
Kesuksesan penurunan perambahan hutan berupa sayuran di KPH Bandung Selatan
selatan khususnya di 3 segitiga emas penghasil sayuran (administratif kecamatan
Pangalengan, Ciparay dan Banjaran) masuk ke BKPH Pangalengan, BKPH Ciparay dan
BKPH Banjaran) dengan melakukan alih komoditi yang melahirkan penyadaran
masyarakat yang dulu menanam sayuran untuk melakukan alih komoditi dari sayuran
ke tanaman keras yang sebagian besar berupa komoditi kopi dan tanaman MPTS,
menciptakan orang-orang kaya baru melalui penghasilan Kopi.
Berapa banyak para investor / Cukong yang sekarang sudah tidak lagi bisa mempermainkan para penggarap hutan dengan
memodali mereka untuk menanam sayuran di kawasan hutan negara.
Hal tersebut membuat masyarakat berbondong-bondong menanam kopi hutan
dengan tetap menjaga hutannya, hal tersebut karena kopi memerlukan tanaman
naungan yaitu tanaman kehutanan.
Peran masyarakat di Banjaran tentang pentingnya PHBM dan manfaatnya dalam
menjaga hutan dilaksanakan melalui patroli hutan bersama, terutama dalam hal
pencegahan kebakaran hutan dan pencurian tanaman kayu yang tentu mempengaruhi penghasian
mereka dengan asumsi bahwa apabila terjadi kebakaran dan pencurian maka tanman kopinya
juga rusak.
Betapa bangganya petugas Perhutani ketika para anggota LMDH beberapa kali menangkap
pencuri kayu dan diserahkan ke Petugas Perhutani, yang artinya betapa mereka sangat
perduli tentang keberadaan hutan. Walaupun
kadangkala merupakan anggota LMDH-nya sendiri, namun demi apa yang mereka lakukan
bersama dalam hal pembinaan-pembinaan kepada para anggota mereka sudah membanggakan
para petugas Perhutani. Dalam beberapa kasus
anggota LMDH yang masih mencuri tetap diproses di polsek setempat.
Dari yang disampaikan di atas, sebenarnya Forester / Rimbawan bisa masuk dan penetrasi menyuarakan aspirasi ke dalam riuhnya tentang reformasi agraria, disamping tentunya dengan argumen dan filosofi tentang hutan dan kehutanan yang sudah biasa didengang-dengungkan di lapangan, seperti "jangan tinggalkan ke generasi berikutnya air mata, tapi harus tinggalkan mata air"; leuweng hejo masyarakat ngejo; pabrik oksigen; dsb
Hal2 tsb tentunya akan menjadi sia2 kalau tidak disuarakan+digelorakan ke segenap stakeholder dengan terencana dan jelas, menjadi tanggung jawab siapa.
Perlu dijelaskan bahwa pada UU No. 41 tentang Kehutanan di konsiderannya juga mengacu pada UU Pokok Agraria (UUPA) No 5 Tahun 1960, dan di UUPA sendiri pada Bagian VIII pasal 46 mengenai Hak membuka tanah dan memungut hasil hutan, isi pasal 1 adalah : Hak membuka tanah dan memungut hasil hutan hanya dapat dipunyai oleh warga-negara Indonesia dan diatur dengan Peraturan Pemerintah, serta isi pasal 2 adalah : Dengan mempergunakan hak memungut hasil hutan secara sah tidak dengan sendirinya diperoleh hak milik atas tanah itu.
Jadi, (kayaknya) kedua UU tersebut sudah saling melengkapi satu sama lain dan Peraturan Pemerintah (PP) no. 72 tentang Perhutani juga sudah sesuai dengan UUPA juga.
Saat ini menjadi trend kembali ketika ada pihak-pihak tertentu mencoba untuk memasukkan wacana “reformasi agraria” ke dalam kawasan hutan negara yang dikelola oleh Perum Perhutani. Ada yang membanding-bandingkan antara UUPA dengan UU Kehutanan, serta disisi lain ada pula yang berusaha melalui regulasi untuk melemahkan eksistensi Perum Perhutani dalam pengelolaan hutan di Pulau Jawa ini.
Issue tentang reformasi agraria kali ini lebih ditekankan pada permasalahan tenurial yang ada dalam kawasan hutan, sehingga harus lebih cermat dan berhati-hati dalam mensikapinya.
Seperti kita ketahui bahwa sesuai PP No. 224 tahun 1961 tentang Pelaksanaan Pembagian Tanah Dan Pemberian Ganti Kerugian, dalam Pasal 1 dijelaskan bahwa tanah-tanah obyek pelaksanaan Landreform adalah :
1. Tanah-tanah selebihnya dari batas maksimum (kepemilikan dan penguasaan) sebagaimana dimaksud dalam UU No. 56 Prp tahun 1960 dan tanah-tanah yang jatuh pada Negara, karena pemiliknya melanggar ketentuan-ketentuan UU tersebut.
2. Tanah-tanah yang diambil oleh Pemerintah, karena pemiliknya bertempat tinggal diluar daerah.
3. Tanah-tanah Swapraja dan bekas Swapraja yang telah beralih kepada Negara.
4. Tanah-tanah lain yang dikuasai oleh Negara.
Selanjutnya ditegaskan oleh Kepala Badan Pertanahan Nasional melalui Keputusan No. 25 tahun 2002 tentang Pedoman Pelaksanaan Permohonan Penegasan Tanah Negara Menjadi Obyek Pengaturan Penguasaan Tanah/Landreform, bahwa disamping tanah-tanah sebagaimana diatur dalam Pasal 1 PP No. 224 tahun 1961 seperti tersebut diatas, tanah-tanah Negara lain yang menjadi obyek pengaturan Landreform adalah :
1. Tanah Negara Bebas.
2. Tanah-tanah bekas Hak Erfpacht.
3. Tanah-tanah bekas HGU yang telah berakhir waktunya dan tidak diperpanjang oleh pemegang hak atau telah dicabut/dibatalkan oleh Pemerintah.
4. Tanah-tanah kehutanan yang telah digarap/dikerjakan oleh rakyat dan telah dilepaskan haknya oleh instansi yang bersangkutan.
5. Tanah-tanah bekas Gogolan.
6. Tanah-tanah bekas Hak Adat/Ulayat.
Dari uraian ketentuan diatas dapat diambil kesimpulan bahwa sebenarnya tanah-tanah yang dapat dijadikan obyek Landreform adalah tanah-tanah yang telah dilepaskan haknya dan langsung dikuasai oleh Negara (meskipun itu berasal/eks dari berbagai macam hak seperti tersebut diatas).
Bagaimana dengan posisi kawasan hutan ?
Berbeda dengan tanah-tanah pada umumnya yang tunduk pada UUPA, karena sesuai dengan fungsi dan karakteristiknya maka penguasaan lahan Kawasan hutan Negara diatur tersendiri oleh Negara dalam UU Kehutanan, dimana dalam hal ini ditunjuklah Kementerian Kehutanan untuk mengurusnya, dan terhadap pengelolaan kawasan hutannya ditunjuklah Perum Perhutani melalui PP No. 72 untuk mengelolanya.
Meskipun dalam teorinya kawasan hutan dapat pula dijadikan obyek Landreform yaitu setelah dilakukan pelepasan status dan fungsinya oleh Menteri Kehutanan, namun perlu diketahui bahwa sesuai peraturan yang berlaku hingga saat ini tidak dimungkinkan kawasan hutan untuk dijadikan obyek Landreform (karena dalam hal ini Negara lebih mempertahankan keluasan kawasan hutan yang ada demi menyangga kehidupan).
Bahkan dalam proses pelepasan status dan fungsi kawasan hutan oleh Menteri Kehutanan pun harus didasarkan pula pada alasan yang dibenarkan oleh ketentuan peraturan yang berlaku (misal : pada lahan kawasan hutan dimaksud faktanya sudah digarap/dikerjakan oleh masyarakat sejak lama, atau sudah menjadi pemukiman penduduk sehingga tidak dimungkinkan lagi untuk dikembalikan sebagaimana fungsinya sebagai kawasan hutan, sehingga hal ini mungkin harus ditempuh dengan proses tukar menukar, dlsb), sehingga dengan demikian status dan fungsi kawasan hutan tidak dapat dilepaskan secara sembarangan.
Antara UUPA dengan UU Kehutanan sendiri seharusnya tidak dibanding-bandingkan karena keduanya mengatur obyek yang berbeda, dan dalam implementasinya masing-masing harus saling mengakui keberadaannya.
Banyaknya tekanan terhadap eksistensi kawasan hutan ini boleh dibilang menunjukkan bahwa pendekatan sosial yang dilakukan oleh Perum Perhutani selama ini nampaknya belum mendapatkan feedback yang diharapkan, bahkan kali ini tekanan terhadap eksistensi Perum Perhutani cenderung menggunakan dalil-dalil hukum sehingga sudah selayaknya bagi Perum Perhutani menggunakan pula pendekatan yuridis untuk mempertahankan eksistensinya.
1. Secara internal kita perlu merapatkan barisan, karena dalam penanganan permasalahan tenurial kawasan hutan ini harus dilakukan secara sinergis antara beberapa bidang tugas, seperti : bidang perlindungan hutan (kam), dan bidang komsos yang harus lebih berperan dalam tahapan preemtif, preventif dan represif; kemudian bidang agraria dan bidang hukum yang lebih berperan dalam suatu penyelesaian permasalahan tenurial yang harus disesuaikan dengan kaidah-kaidah ketentuan peraturan yang berlaku (penyelesaian diarahkan melalui program PHBM, atau terpaksa melalui mekanisme perubahan peruntukan kawasan hutan); selanjutnya menjadi peran bidang hukum untuk melakukan upaya dalam hal suatu permasalahan tenurial terpaksa harus masuk dalam ranah litigasi (peradilan); Dengan kata lain “pendekatan sosial” menjadi prioritas utama dalam rangka penyelesaian permasalahan tenurial, sedangkan “pendekatan yuridis” menjadi diperlukan untuk mendukung pendekatan sosial terhadap suatu permasalahan yang harus diselesaikan sesuai kaidah ketentuan yang berlaku. Adapun “upaya hukum” dilakukan pada tataran terakhir terhadap suatu permasalahan yang terpaksa harus masuk pada ranah litigasi Namun demikian perlu adanya penegasan bidang mana yang akan ditunjuk untuk menjadi leader dalam rangka menggerakkan mekanisme penyelesaian dimaksud.
2. Lebih lanjut harus dilakukan pengawalan secara ketat terhadap seluruh proses penyelesaian tenurial yang saat ini dituntut untuk melibatkan keterkaitan pihak stakeholder,
3. Berperan aktif dalam menyikapi setiap pekembangan regulasi tentang pertanahan baik di tingkat pusat maupun daerah.
No comments:
Post a Comment