Tuesday, February 14, 2012

REFORMASI AGRARIA VS KEHUTANAN


Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) VS Undang-Undang Kehutanan No 41





Mencermati kondisi terkini tentang konflik lahan dan reformasi agraria yang sekarang menghangat, ada beberapa hal yang sangat strategis bisa mempengaruhi eksistensi perusahaan kehutanan (dalam hal ini Perhutani) dan eksistensi kehutanan pada umumnya mengenai status UU Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan dan UUPA No 5 Tahun 1960.

Beberapa hal tsb diantaranya :
1.    Penggiringan opini di media nasional bahwa yang menjadi "panglima" adalah UUPA, sementara UU lainya bersifat UU sektoral, termasuk UU 41 (Berita kompas).
2.    Adanya penggiringan usulan agar di dalam RUU Desa, juga memasukan hak asal-usul termasuk dalam pengelolaan SDA di hutan jawa, bukan hanya bicara pemerintahan desa.

Berikut kutipan tweet salah satu penggiat reformasi agraria yang beredar di twitter (ditujukan ke akun salah satu anggota DPR) :
1.    RUU Desa penting memuat bhw yang dimaksud dengan hak asal usul dalam pengelolaan SDA termasuk didalamnya adalah HUTAN JAWA 
2.    RUU Desa perlu memunculkan bahwa implementasi kelola SDA oleh desa diperlukan panitia landreform 
3.    RUU Desa jangan sampai hanya bicara tentang "pemerintahan desa" tetapi penting sekali untuk bicara kelola SDA termasuk hutan. 
4.    para pejuang agraria dan masyarakat adat harus memasukkan prinsip2 kelola SDA dalam RUU Desa 
5.    Kategori desa sangatlah beragam, seperti: desa asli, desa praja, desa otonom seperti kata..(Menyebut slh satu akun twitter)

Bagaimana Pihak kehutanan dalam hal ini Mentri Kehutanan dan Perum Perhutani  menanggapi kedua fenomena tsb?

Hasil diskusi dengan Tim Pendamping Masyarakat dan tokoh masyarakat, salah satu tokoh di daerah konflik tenurial di cigaronggong garut yang pada mulanya menjadi tokoh yang didepan memusuhi Perhutani, sekarang setelah dibuka komunikasi intensif sdh menjadi tokoh yang merasa wajib untuk meluruskan pemahaman keliru tentang PHBM di masyarakatnya dan merintis pembentukan KTH. 

Beberapa hal yang beliau sampaikan diantaranya :

bahwa dari amatan dan dan hasil menggeluti setelah intensif berkomunikasi dan mempraktekan di lapangan, Perhutani merupakan lembaga yang sudah melakukan reformasi yang bener2 reformasi, dilihat dengan model PHBM yang dikembangkan dengan model Hutan Pangkuan Desa (HPD), sistem sharing, penguatan kelembagaan dan ruang garapan untuk masyarakat (Dengan tambahan dr beliau, bahwa ini saya sampaikan bukan krn saya ngomong dengan orang Perhutani, ini saya sampaikan juga ke semua pihak termasuk masy yang sebagian skrg sdh membentuk KTH,bahkan kpd intel TNI yang bbrp waktu lalu dtg ke beliau).

-       Terkait dengan rame2 UU PA, menurut beliau bahwa sistem yang dikembangkan Perhutani  dengan PHBM, kalo di UUPA, sebenarnya apa yang disebut HAK KULAH (bhs di masyarakat, hak-ku untuk menggarap, tapi ulah dimiliki). Beliau paham krn dulu termasuk yang menyebarkan ke masyarakat tentang info2 tentang pemilikan lahan.
-       Kalo dimana2 didengung2kan tanah untuk rakyat, sebenarnya itu juga hanya pengakuan saja, krn faktanya begitu ada redistribusi lahan di ciniti (pasir salam I), langsung para investor/kapitalis yang masuk, sehingga sekarang disana masyarakat menjadi kuli/buruh lagi, sementara pemilik lahan semua dr luar.


   Kesuksesan penurunan perambahan hutan berupa sayuran di KPH Bandung Selatan selatan khususnya di 3 segitiga emas penghasil sayuran (administratif kecamatan Pangalengan, Ciparay dan Banjaran) masuk ke BKPH Pangalengan, BKPH Ciparay dan BKPH Banjaran) dengan melakukan alih komoditi yang melahirkan penyadaran masyarakat yang dulu menanam sayuran untuk melakukan alih komoditi dari sayuran ke tanaman keras yang sebagian besar berupa komoditi kopi dan tanaman MPTS, menciptakan orang-orang kaya baru melalui penghasilan Kopi. 
  Berapa banyak para investor / Cukong yang sekarang sudah tidak lagi  bisa mempermainkan para penggarap hutan dengan memodali mereka untuk menanam sayuran di kawasan hutan negara.
    Hal tersebut membuat masyarakat berbondong-bondong menanam kopi hutan dengan tetap menjaga hutannya, hal tersebut karena kopi memerlukan tanaman naungan yaitu tanaman kehutanan.
     Peran masyarakat di Banjaran tentang pentingnya PHBM dan manfaatnya dalam menjaga hutan dilaksanakan melalui patroli hutan bersama, terutama dalam hal pencegahan kebakaran hutan dan pencurian tanaman kayu yang tentu mempengaruhi penghasian mereka dengan asumsi bahwa apabila terjadi kebakaran dan pencurian maka tanman kopinya juga rusak.  
   Betapa bangganya petugas Perhutani ketika para anggota LMDH beberapa kali menangkap pencuri kayu dan diserahkan ke Petugas Perhutani, yang artinya betapa mereka sangat perduli tentang keberadaan hutan.  Walaupun kadangkala merupakan anggota LMDH-nya sendiri, namun demi apa yang mereka lakukan bersama dalam hal pembinaan-pembinaan kepada para anggota mereka sudah membanggakan para petugas Perhutani.  Dalam beberapa kasus anggota LMDH yang masih mencuri tetap diproses di polsek setempat.

Dari yang disampaikan di atas, sebenarnya Forester / Rimbawan bisa masuk dan penetrasi menyuarakan aspirasi ke dalam riuhnya tentang reformasi agraria, disamping tentunya dengan argumen dan filosofi tentang hutan dan kehutanan yang sudah biasa didengang-dengungkan di lapangan, seperti "jangan tinggalkan ke generasi berikutnya air mata, tapi harus tinggalkan mata air"; leuweng hejo masyarakat ngejo; pabrik oksigen; dsb 

Hal2 tsb tentunya akan menjadi sia2 kalau tidak disuarakan+digelorakan ke segenap stakeholder dengan terencana dan jelas, menjadi tanggung jawab siapa.

Perlu dijelaskan bahwa pada UU No. 41 tentang Kehutanan di konsiderannya juga mengacu pada UU Pokok Agraria (UUPA) No 5 Tahun 1960, dan di UUPA sendiri pada Bagian VIII pasal 46 mengenai Hak membuka tanah dan memungut hasil hutan, isi pasal 1 adalah :  Hak membuka tanah dan memungut hasil hutan hanya dapat dipunyai oleh warga-negara Indonesia dan diatur dengan Peraturan Pemerintah, serta isi pasal 2 adalah : Dengan mempergunakan hak memungut hasil hutan secara sah tidak dengan sendirinya diperoleh hak milik atas tanah itu.  
Jadi, (kayaknya) kedua UU tersebut sudah saling melengkapi satu sama lain dan Peraturan Pemerintah (PP) no. 72 tentang Perhutani juga sudah sesuai dengan UUPA juga.

Saat ini menjadi trend kembali ketika ada pihak-pihak tertentu mencoba untuk memasukkan wacana “reformasi agraria” ke dalam kawasan hutan negara yang dikelola oleh Perum Perhutani. Ada yang membanding-bandingkan antara UUPA dengan UU Kehutanan, serta disisi lain ada pula yang berusaha melalui regulasi untuk melemahkan eksistensi Perum Perhutani dalam pengelolaan hutan di Pulau Jawa ini.

Issue tentang reformasi agraria kali ini lebih ditekankan pada permasalahan tenurial yang ada dalam kawasan hutan, sehingga harus lebih cermat dan berhati-hati dalam mensikapinya. 


Seperti kita ketahui bahwa sesuai PP No. 224 tahun 1961 tentang Pelaksanaan Pembagian Tanah Dan Pemberian Ganti Kerugian, dalam Pasal 1 dijelaskan bahwa tanah-tanah obyek pelaksanaan Landreform adalah :

1.    Tanah-tanah selebihnya dari batas maksimum (kepemilikan dan penguasaan) sebagaimana  dimaksud dalam UU No. 56 Prp tahun 1960 dan tanah-tanah yang jatuh pada Negara, karena  pemiliknya melanggar ketentuan-ketentuan UU tersebut.
2.    Tanah-tanah yang diambil oleh Pemerintah, karena pemiliknya bertempat tinggal diluar daerah.
3.    Tanah-tanah Swapraja dan bekas Swapraja yang telah beralih kepada Negara.
4.    Tanah-tanah lain yang dikuasai oleh Negara.


Selanjutnya ditegaskan oleh Kepala Badan Pertanahan Nasional melalui Keputusan No. 25 tahun 2002 tentang Pedoman Pelaksanaan Permohonan Penegasan Tanah Negara Menjadi Obyek Pengaturan Penguasaan Tanah/Landreform, bahwa disamping tanah-tanah sebagaimana diatur dalam Pasal 1 PP No. 224 tahun 1961 seperti tersebut diatas, tanah-tanah Negara lain yang menjadi obyek pengaturan Landreform adalah :
1.    Tanah Negara Bebas.
2.    Tanah-tanah bekas Hak Erfpacht.
3.    Tanah-tanah bekas HGU yang telah berakhir waktunya dan tidak diperpanjang oleh pemegang hak  atau telah dicabut/dibatalkan oleh Pemerintah.
4.    Tanah-tanah kehutanan yang telah digarap/dikerjakan oleh rakyat dan telah dilepaskan haknya oleh instansi yang bersangkutan.
5.    Tanah-tanah bekas Gogolan.
6.    Tanah-tanah bekas Hak Adat/Ulayat.

Dari uraian ketentuan diatas dapat diambil kesimpulan bahwa sebenarnya tanah-tanah yang dapat dijadikan obyek Landreform adalah tanah-tanah yang telah dilepaskan haknya dan langsung dikuasai oleh Negara (meskipun itu berasal/eks dari berbagai macam hak seperti tersebut diatas).

Bagaimana dengan posisi kawasan hutan ?

Berbeda dengan tanah-tanah pada umumnya yang tunduk pada UUPA, karena sesuai dengan fungsi dan karakteristiknya maka penguasaan lahan Kawasan hutan Negara diatur tersendiri oleh Negara dalam UU Kehutanan, dimana dalam hal ini ditunjuklah Kementerian Kehutanan untuk mengurusnya, dan terhadap pengelolaan kawasan hutannya ditunjuklah Perum Perhutani melalui PP No. 72 untuk mengelolanya.
Meskipun dalam teorinya kawasan hutan dapat pula dijadikan obyek Landreform yaitu setelah dilakukan pelepasan status dan fungsinya oleh Menteri Kehutanan, namun perlu diketahui bahwa sesuai peraturan yang berlaku hingga saat ini tidak dimungkinkan kawasan hutan untuk dijadikan obyek Landreform (karena dalam hal ini Negara lebih mempertahankan keluasan kawasan hutan yang ada demi menyangga kehidupan).
Bahkan dalam proses pelepasan status dan fungsi kawasan hutan oleh Menteri Kehutanan pun harus didasarkan pula pada alasan yang dibenarkan oleh ketentuan peraturan yang berlaku (misal : pada lahan kawasan hutan dimaksud faktanya sudah digarap/dikerjakan oleh masyarakat sejak lama, atau sudah menjadi pemukiman penduduk sehingga tidak dimungkinkan lagi untuk dikembalikan sebagaimana fungsinya sebagai kawasan hutan, sehingga hal ini mungkin harus ditempuh dengan proses tukar menukar, dlsb), sehingga dengan demikian status dan fungsi kawasan hutan tidak dapat dilepaskan secara sembarangan.

Antara UUPA dengan UU Kehutanan sendiri seharusnya tidak dibanding-bandingkan karena keduanya mengatur obyek yang berbeda, dan dalam implementasinya masing-masing harus saling mengakui keberadaannya.

Banyaknya tekanan terhadap eksistensi kawasan hutan ini boleh dibilang menunjukkan bahwa pendekatan sosial yang dilakukan oleh Perum Perhutani selama ini nampaknya belum mendapatkan feedback yang diharapkan, bahkan kali ini tekanan terhadap eksistensi Perum Perhutani cenderung menggunakan dalil-dalil hukum sehingga sudah selayaknya bagi Perum Perhutani menggunakan pula pendekatan yuridis untuk mempertahankan eksistensinya.

1.    Secara internal kita perlu merapatkan barisan, karena dalam penanganan permasalahan tenurial      kawasan hutan ini harus dilakukan secara sinergis antara beberapa bidang tugas, seperti : bidang perlindungan hutan (kam), dan bidang komsos yang harus lebih berperan dalam tahapan preemtif, preventif dan represif;  kemudian bidang agraria dan bidang hukum yang lebih berperan dalam suatu penyelesaian  permasalahan tenurial yang harus disesuaikan dengan kaidah-kaidah ketentuan peraturan yang  berlaku (penyelesaian diarahkan melalui program PHBM, atau terpaksa melalui mekanisme perubahan peruntukan kawasan hutan);  selanjutnya menjadi peran bidang hukum untuk melakukan upaya dalam hal suatu permasalahan  tenurial terpaksa harus masuk dalam ranah litigasi (peradilan);   Dengan kata lain “pendekatan sosial” menjadi prioritas utama dalam rangka penyelesaian  permasalahan tenurial, sedangkan “pendekatan yuridis” menjadi diperlukan untuk mendukung  pendekatan sosial terhadap suatu permasalahan yang harus diselesaikan sesuai kaidah ketentuan  yang berlaku. Adapun “upaya hukum” dilakukan pada tataran terakhir terhadap suatu  permasalahan yang terpaksa harus masuk pada ranah litigasi Namun demikian perlu adanya penegasan bidang mana yang akan ditunjuk untuk menjadi leader   dalam rangka menggerakkan mekanisme penyelesaian dimaksud.

2.    Lebih lanjut harus dilakukan pengawalan secara ketat terhadap seluruh proses penyelesaian  tenurial yang saat ini dituntut untuk melibatkan keterkaitan pihak stakeholder,
3.    Berperan aktif dalam menyikapi setiap pekembangan regulasi tentang pertanahan baik di tingkat  pusat maupun daerah.

APAKAH ANAKKU HARUS RANGKING 1 ?

Si Ranking 23 : “Aku ingin menjadi orang yang bertepuk tangan di tepi jalan”

Di kelasnya terdapat 50 orang murid, setiap kali ujian, anak perempuanku tetap mendapat ranking ke-23. Lambat laun membuat dia mendapatkan nama panggilan dengan nomor ini, dia juga menjadi murid kualitas menengah yang sesungguhnya. Sebagai orangtua, kami merasa nama panggilan ini kurang enak didengar,namun ternyata anak kami  menerimanya dengan senang hati.
Suamiku mengeluhkan ke padaku, setiap kali ada kegiatan di perusahaannya atau pertemuan alumni sekolahnya, setiap orang selalu memuji-muji “Superman cilik” di rumah masing-masing, sedangkan dia hanya bisa menjadi pendengar saja. Anak keluarga orang, bukan saja memiliki nilai sekolah yang menonjol, juga memiliki banyak keahlian khusus. Sedangkan anak kami rangking nomor 23 dan tidak memiliki sesuatu pun untuk ditonjolkan. Dari itu, setiap kali suamiku menonton penampilan anak-anak berbakat luar biasa dalam acara televisi, timbul keirian dalam hatinya sampai matanya begitu bersinar-sinar.
Kemudian ketika dia membaca sebuah berita tentang seorang anak berusia 9 tahun yang masuk perguruan tinggi, dia bertanya dengan hati kepada anak kami: “Anakku, kenapa kamu tidak terlahir sebagai anak dengan kepandaian luar biasa?” Anak kami menjawab: “Itu karena ayah juga bukan seorang ayah dengan kepandaian yang luar biasa”. Suamiku menjadi tidak bisa berkata apa-apa lagi, saya tanpa tertahankan tertawa sendiri.
Pada pertengahan musim, semua sanak keluarga berkumpul bersama untuk merayakannya, sehingga memenuhi satu ruangan besar di sebuah restoran. Topik pembicaraan semua orang perlahan-lahan mulai beralih kepada anak masing-masing. Dalam kemeriahan suasana, anak-anak ditanyakan apakah cita-cita mereka di masa mendatang? Ada yang menjawab akan menjadi pemain piano, bintang film atau politikus, tiada seorang pun yang terlihat takut mengutarakannya di depan orang banyak, bahkan anak perempuan berusia 4½ tahun juga menyatakan bahwa kelak akan menjadi seorang pembawa acara di televisi, semua orang bertepuk tangan mendengarnya.
Anak perempuan kami yang berusia 15 tahun terlihat sangat sibuk sekali sedang membantu anak-anak kecil lainnya makan. Semua orang mendadak teringat kalau hanya dia yang belum mengutarakan cita-citanya kelak. Di bawah desakan orang banyak, akhirnya dia menjawab dengan sungguh-sungguh: Kelak ketika aku dewasa, cita-cita pertamaku adalah menjadi seorang guru TK, memandu anak-anak menyanyi, menari lalu bermain-main. Demi menunjukkan kesopanan, semua orang tetap memberikan pujian, kemudian menanyakan akan cita-cita keduanya. Dia menjawab dengan besar hati: “Saya ingin menjadi seorang ibu, mengenakan kain celemek bergambar Doraemon dan memasak di dapur, kemudian membacakan cerita untuk anak-anakku dan membawa mereka ke teras rumah untuk melihat bintang”. Semua sanak keluarga tertegun dibuatnya, saling pandang tanpa tahu akan berkata apa lagi. Raut muka suamiku menjadi canggung sekali.
Sepulangnya kami kembali ke rumah, suamiku mengeluhkan ke padaku, apakah aku akan membiarkan anak perempuan kami kelak menjadi guru TK?
Apakah kami tetap akan membiarkannya menjadi murid kualitas menengah?
Sebetulnya, kami juga telah berusaha banyak. Demi meningkatkan nilai sekolahnya, kami pernah mencarikan guru les pribadi dan mendaftarkannya di tempat bimbingan belajar, juga membelikan berbagai materi belajar untuknya.
Anak kami juga sangat penurut, dia tidak lagi membaca komik lagi, tidak ikut kelas origami lagi, tidur bermalas-malasan di akhir minggu tidak dilakukan lagi.
Bagai seekor burung kecil yang kelelahan, dia ikut les belajar sambung menyambung, buku pelajaran dan buku latihan dikerjakan terus tanpa henti. Namun biar bagaimana pun dia tetap seorang anak-anak, tubuhnya tidak bisa bertahan lagi dan terserang flu berat. Biar sedang diinfus dan terbaring di ranjang, dia tetap bersikeras mengerjakan tugas pelajaran, akhirnya dia terserang radang paru-paru. Setelah sembuh, wajahnya terlihat semakin kurus. Akan tetapi ternyata hasil ujian semesternya membuat kami tidak tahu mau tertawa atau menangis, tetap saja rangking 23. Kemudian, kami juga mencoba untuk memberikan penambah gizi dan rangsangan hadiah, setelah berulang-ulang menjalaninya, ternyata wajah anak perempuanku kondisinya semakin pucat saja.
Apalagi, setiap kali akan menghadapi ujian, dia mulai tidak bisa makan dan tidak bisa tidur, terus mencucurkan keringat dingin, terakhir hasil ujiannya malah menjadi nomor 33 yang mengejutkan kami. Aku dan suamiku secara diam-diam melepaskan aksi tekanan, dan membantunya tumbuh normal.
Dia kembali pada jam belajar dan istirahatnya yang normal, kami mengembalikan haknya untuk membaca komik, mengijinkannya untuk berlangganan majalah “Humor anak-anak” dan sejenisnya, sehingga rumah kami menjadi tenteram damai kembali. Kami memang sangat sayang pada anak kami ini, namun kami sungguh tidak memahami akan nilai sekolahnya.
Pada akhir minggu, teman-teman sekerja pergi rekreasi bersama. Semua orang mempersiapkan lauk terbaik dari masing-masing, dengan membawa serta suami dan anak untuk piknik. Sepanjang perjalanan penuh dengan tawa dan guyonan, ada anak yang bernyanyi, ada juga yang memperagakan karya seni pendek.
Anak kami tiada keahlian khusus, hanya terus bertepuk tangan dengan sangat gembira.
Dia sering kali lari ke belakang untuk mengawasi bahan makanan. Merapikan kembali kotak makanan yang terlihat sedikit miring, mengetatkan tutup botol yang longgar atau mengelap wadah sayuran yang bocor ke luar. Dia sibuk sekali bagaikan seorang pengurus rumah tangga cilik.
Ketika makan terjadi satu kejadian di luar dugaan. Ada dua orang anak lelaki, satunya adalah bakat matematika, satunya lagi adalah ahli bahasa Inggris. Kedua anak ini secara bersamaan berebut sebuah kue beras yang di atas piring, tiada seorang pun yang mau melepaskannya, juga tidak mau saling membaginya. Walau banyak makanan enak terus dihidangkan, mereka sama sekali tidak mau peduli. Orang dewasa terus membujuk mereka, namun tidak ada hasilnya. Terakhir anak kami yang menyelesaikan masalah sulit ini dengan cara yang sederhana yaitu lempar koin untuk menentukan siapa yang menang.
Ketika pulang, jalanan macet dan anak-anak mulai terlihat gelisah. Anakku membuat guyonan dan terus membuat orang-orang semobil tertawa tanpa henti. Tangannya juga tidak pernah berhenti, dia mengguntingkan banyak bentuk binatang kecil dari kotak bekas tempat makanan, membuat anak-anak ini terus memberi pujian. Sampai ketika turun dari mobil bus, setiap orang mendapatkan guntingan kertas hewan shio-nya masing-masing.
Ketika mendengar anak-anak terus berterima kasih, tanpa tertahankan pada wajah suamiku timbul senyum bangga.
Selepas ujian semester, aku menerima telpon dari wali kelas anakku.
Pertama-tama mendapatkan kabar kalau nilai sekolah anakku tetap kualitas menengah. Namun dia mengatakan ada satu hal aneh yang hendak diberitahukannya, hal yang pertama kali ditemukannya selama lebih dari 30 tahun mengajar.
Dalam ujian bahasa ada sebuah soal tambahan, yaitu siapa teman sekelas yang paling kamu kagumi dan alasannya.
Selain anakku, semua teman sekelasnya menuliskan nama anakku.
Alasannya pun sangat beragam : antusias membantu orang, sangat memegang janji, tidak mudah marah, enak berteman, dan lain-lain, paling banyak ditulis adalah optimis dan humoris.
Wali kelasnya mengatakan banyak usul agar dia dijadikan ketua kelas saja.
Dia memberi pujian: “Anak anda ini, walau nilai sekolahnya biasa-biasa saja, namun kalau bertingkah laku terhadap orang, benar-benar nomor satu”.
Saya bercanda pada anakku, kamu sudah mau jadi pahlawan. Anakku yang sedang merajut selendang leher terlebih menundukkan kepalanya dan berpikir sebentar, dia lalu menjawab dengan sungguh-sungguh: “Guru pernah mengatakan sebuah pepatah, ketika pahlawan lewat, harus ada orang yang bertepuk tangan di tepi jalan.”
Dia pun pelan-pelan melanjutkan: “Ibu, aku tidak mau jadi Pahlawan aku mau jadi orang yang bertepuk tangan di tepi jalan.” Aku terkejut mendengarnya dan mengamatinya dengan seksama.
Dia tetap diam sambil merajut benang wolnya, benang warna merah muda dipilinnya bolak balik di jarum, sepertinya waktu yang berjalan di tangannya mengeluarkan kuncup bunga.
Dalam hatiku pun terasa hangat seketika.
Pada ketika itu, hatiku tergugah oleh anak perempuan yang tidak ingin menjadi pahlawan ini. Di dunia ini ada berapa banyak orang yang bercita-cita ingin menjadi seorang pahlawan, namun akhirnya menjadi seorang biasa di dunia fana ini.
Jika berada dalam kondisi sehat, jika hidup dengan bahagia, jika tidak ada rasa bersalah dalam hati, mengapa anak-anak kita tidak boleh menjadi seorang biasa yang baik hati dan jujur.
Jika anakku besar nanti, dia pasti menjadi seorang isteri yang berbudi luhur, seorang ibu yang lemah lembut, bahkan menjadi seorang teman kerja yang gemar membantu, tetangga yang ramah dan baik.
Apalagi dia mendapatkan ranking 23 dari 50 orang murid di kelasnya, kenapa kami masih tidak merasa senang dan tidak merasa puas?
Masih ingin dirinya lebih hebat dari orang lain dan lebih menonjol lagi?

Anakmu bukan milikmu. Mereka putra putri sang Hidup yang rindu pada diri sendiri,
Lewat engkau mereka lahir, namun tidak dari engkau,
Mereka ada padamu, tapi bukan hakmu.
Berikan mereka kasih sayangmu, tapi jangan sodorkan bentuk pikiranmu,
Sebab mereka ada alam pikiran tersendiri.
Patut kau berikan rumah untuk raganya, Tapi tidak untuk jiwanya,
Sebab jiwa mereka adalah penghuni rumah masa depan, yang tiada dapat kau kunjungi meski dalam mimpi.
Kau boleh berusaha menyerupai mereka,  Namun jangan membuat mereka menyerupaimu
Sebab kehidupan tidak pernah berjalan mundur, Pun tidak tenggelam di masa lampau.
Kaulah busur, dan anak-anakmulah
Anak panah yang meluncur.
Sang Pemanah Maha Tahu sasaran bidikan keabadian.
Dia merentangmu dengan kekuasaan-Nya, Hingga anak panah itu melesat, jauh serta cepat.
Meliuklah dengan suka cita dalam rentangan t
angan Sang Pemanah, Sebab Dia mengasihi anak-anak panah yang melesat laksana kilat Sebagaimana pula dikasihiNya busur yang mantap.
(
Khalil Gibran)

Kisah ini juga di tulis di beberapa milis.