Tuesday, June 26, 2018

Mengenal Pinus


Hutan merupakan sumber kekayaan yang sangat bermanfaat bagi kehidupan manusia. Kelangsungan dan kelestariannya tergantung pada sikap dan tindakan manusia dalam memanfaatkan potensi hutan tersebut.

Selain itu hutan pun dapat menghasilkan tanaman yang bermanfaat bagi manusia, contohnya saja tanaman pinus. Tanaman pinus ini memiliki peranan yang penting, sebab selain sebagai tanaman pioner, pohon pinus  juga menghasilkan getah yang diolah lebih lanjut akan mempunyai nilai ekonomi yang tinggi. Getah yang dihasilkan oleh pinus yaitu gondorukem dan terpentin yang dipergunakan dalam industri batik, plastik, sabun, tinta cetak, bahan plitur, dan sebagainya, sedangkan terpentin digunakan sebagai bahan pelarut cat.

Produktivitas getah dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal. Faktor eksternal berupa tempat tumbuh serta tindakan dalam pemeliharaan hutan yang berpengaruh produksi getah secara langsung atau tidak langsung. Salah satu aspek aspek eksternal yang berpengaruh ialah tenaga penyadap itu sendiri antara lain usia penyadap, keterampilan penyadap, dan pengalaman penyadap. Sedangkan faktor internal berupa faktor biologi pohon.

Dengan makin pesatnya perkembangan dan makin meningkat nya kebutuhan manusia, maka prospek gondorukem dan terpentin untuk industri sangat cerah, sehingga peranan hutan pinus sebagai penyuplai industri gondorukem dan terpentin harus tetap lestari. Produksi gondorukem untuk keperluan industri di Indonesia masih kurang, maka untuk memenuhi kebutuhan tersebut perlu diadakan peningkatan produksi getah pinus.

Salah satu aspek yang berperan dalam usaha meningkatkan dan melancarkan produksi getah pinus adalah tenaga penyadap. Tenaga penyadap tidak sepenuhnya bekerja pada penyadapan dalam arti menyadap hanya merupakan pekerjaan sampingan, sehingga akan mempengaruhi tingkat produksi getah pinus. Hal tersebut akan mengakibatkan potensi getah pinus tidak tergarap dengan maksimal.

Akan tetapi, pada saat ini pihak Perhutani memberikan kebijakan kepada penyadap dengan memberi areal sadapan yang disesuaikan dengan kemampuan penyadap yaitu berkisar antara dua sampai lima hektar. Untuk itu, perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui berapa jumlah pohon yang optimal yang sebaiknya diberikan kepada penyadap berdasarkan kemampuan masing-masing penyadap.


Di Indonesia secara alami hanya terdapat satu jenis pinus yaitu Pinus merkusii di Sumatera bagian utara (sekitar Aceh dan Tapanuli). Selain di Indonesia Pinus merkusii juga dijumpai di Vietnam, kamboja, Thailand, Burma, India dan Philipina. Secara geografis tersebar antara 20 LS-220 dan 95030’ BB-120031.

Pinus merkusii tidak meminta syarat tumbuh yang tinggi terhadap tempat tumbuh, namun pertumbuhannya dipengaruhi berbagai factor seperti tanah, iklim, dan altitude. Untuk menghasilkan pertumbuhan yang baik, pinus membutuhkan :
  1. Ketunggian tempat tumbuh 200-2000 mdpl.
  2. Temperatur udara berkisar 180-300 C.
  3. Reaksi tanah (pH) berkisar antara 4,5-5,5.
  4. Bulan basah (5-6 bulan) yang diselingi dengan bulan kering yang pendek (3-4 bulan).

Penyebaran Pinus spp meliputi daerah Eurasia dan Amerika. Menurut data yang tersedia tahun 1967 suku Pinus memiliki lebih kurang 107 jenis yang tersebar secara alami di berbagai tempat tumbuh yang berbeda-beda di benua Eropa, Afrika dan Asia. Di Asia terdapat lebih kurang 28 jenis, diantaranya 3-7 jenis terdapat di Asia Tenggara antara lain Pinus merkusii, Pinus kaysia, Pinus insularis.

Getah Pinus

Getah yang dihasilkan pohon Pinus merkusii digolongkan sebagai oleoresin yang merupakan cairan asam-asam resin dalam terpentin yang menetes keluar apabila saluran resin pada kayu atau kulit pohon jenis jarum tersayat atau pecah. Penamaan oleoresin ini dipakai untuk membedakan getah pinus dari getah alamiah (natural resin) yang muncul kulit atau terdapat dalam rongga-rongga jaringan kayu sebagai genus dari anggota famili Dipterocarpaceae, Leguminoceae, dan Caesalpiniaceae.

Getah yang berasal dari pohon Pinus berwarna kuning pekat dan lengket, yang terdii dari campuran bahan kimia yang kompleks. Unsur-unsur terpenting yang menyusun getah pinus adalah asam terpen dan asam abietic. Campuran bahan tersebut larut dalam alcohol, bensin, ether, dan sejumlah pelarut organic lainnya, tetapi tidak larut dalam air. Selain itu dari hasil penyulingan getah Pinus merkusii rata-rata dihasilkan 64% gondorukem, 22,5% terpentin, dan 12,5% kotoran.

Saluran getah resin bukan merupakan bagian dari kayu, tetapi berupa rongga yang dikelilingi oleh sel-sel parenkimatis atau sel epitel. Seluruh lapisan yang mengelilingi saluran resin disebut epitellium.

Tusam atau pinus adalah sebutan bagi sekelompok tumbuhan yang semuanya tergabung dalam marga Pinus. Di Indonesia penyebutan tusam atau pinus biasanya ditujukan pada tusam Sumatera (Pinus merkusii Jungh. et deVries).
Tusam kebanyakan bersifat berumah satu (monoecious), yaitu dalam satu tumbuhan terdapat organ jantan dan betina namun terpisah, meskipun beberapa spesies bersifat setengah berumah dua (sub-dioecious).
Nama-nama umum di beberapa negara adalah:
  • Filipina: Mindoro Pinus, Tapulau (Sambali, Tagalog)
  • Indonesia: Damar Bunga
  • Thailand: Anak-haang-maa
  • Vietnam: Th[oo]ng l hai

SELENGKAPNYA TENTANG PINUS
Pinus merkusii merupakan satu-satunya jenis pinus yang tumbuh asli di Indonesia.  P. merkusii termasuk dalam jenis pohon serba guna yang terus-menerus dikembangkan dan diperluas penanamannya pada masa mendatang untuk penghasil kayu, produksi getah, dan konservasi lahan. Hampir semua bagian pohonnya dapat dimanfaatkan, antara lain bagian batangnya dapat disadap untuk diambil getahnya. Getah tersebut diproses lebih lanjut menjadi gondorukem dan terpentin. Gondorukem dapat digunakan sebagai bahan untuk membuat sabun, resin dan cat. Terpentin digunakan untuk bahan industry parfum, obat-obatan, dan desinfektan. Hasil kayunya bermanfaat untuk konstruksi, korek api, pulp, dan kertas serat panjang. Bagian kulitnya dapat dimanfaatkan sebagai bahan bakar dan abunya digunakan untuk bahan campuran pupuk, karena mengandung kalium

Manfaat
P. merkusii Jungh et De Vriese atau sering disebut tusam merupakan salah satu jenis pohon industri yang mempunyai nilai produksi tinggi dan merupakan salah satu prioritas jenis untuk reboisasi terutama di luar pulau Jawa. Di pulau Jawa, pinus atau tusam dikenal sebagai penghasil kayu, resin dan gondorukem yang dapat diolah lebih lanjut sehingga mempunyai nilai ekonomi yang lebih tinggi seperti produksi α pinen.

Kelemahan dari P. merkusii adalah peka terhadap kebakaran, karena menghasilkan serasah daun yang tidak mudah membusuk secara alami. Kebakaran hutan umumnya terjadi pada saat musim kemarau, karena saat itu kandungan air, baik pada ranting-ranting dan serasah di lantai hutan maupun pada pohon menjadi berkurang sehingga kemungkinan untuk mengalami kebakaran menjadi lebih besar. Selain itu, produksi serasah pinus termasuk tinggi, yaitu sebesar 12,56-16,65 ton/hektar.
 
Menurut Harahap dan Izudin (2002) kegunaan P. merkusii untuk bangunan perumahan, lantai, mebel, kotak, korek api, pulp, tiang listrik, papan wol kayu, resin, gondorukem, dan kayu lapis
Selain itu, kegunaan pinus sangat banyak, antara lain kayunya dapat digunakan untuk triplek, venir, pulp, sutra tiruan, dan bahan pelarut. Getahnya dapat dijadikan gondorukem, sabun, perekat, cat dan kosmetik. Daur panen untuk kebutuhan pulp 12 tahun dan non pulp 20 tahun.

P. merkusii umumnya ditanam untuk produksi kayu pertukangan, disamping itu pohonnya juga disadap untuk menghasilkan terpentin dan gondorukem. Peningkatan kelurusan batang dan volume masih merupakan sifat-sifat penting yang perlu dimuliakan. Nilai heritabilitas bentuk batang umumnya moderat, demikian pula untuk diameter.

Korelasi genetik antara bentuk batang dan diameter bervariasi dari rendah positif ke moderat negatif. Korelasi genetik antara tinggi dan diameter umumnya moderat sampai tinggi positif

BOTANI PINUS
Tata Nama
Pinus merkusii Jungh et de Vriese termasuk suku Pinaceae, sinonim dengan P. sylvestri auct. Non. L, P. sumatrana Jung, P. finlaysoniana Blume, P. latteri Mason, P. merkusii var. tonkinensis, P. merkusiana Cooling & Gaussen.

Nama daerah : Damar Batu, Huyam, Kayu Sala, Sugi, Tusam (Sumatera), Pinus (Jawa), Sral (Kamboja), Thong Mu (Vietnam), Tingyu (Burma), Tapusan (Filipina), Indochina Pine, Sumatra Pine, Merkus Pine (Amerika Serikat, Inggris) dan lain-lain (Harahap dan Izudin, 2002).

Deskripsi
P. merkusii Jungh et de Vriese pertama sekali ditemukan dengan nama tusam di daerah Sipirok, Tapanuli Selatan oleh seorang ahli botani dari Jerman - Dr. F. R. Junghuhn - pada tahun 1841. Jenis ini tergolong jenis cepat tumbuh dan tidak membutuhkan persyaratan khusus. Keistimewaan jenis ini antara lain merupakan satu-satunya jenis pinus yang menyebar secara alami ke selatan khatulistiwa sampai melewati 20 LS .

Tinggi
P. merkusii Jung. & De Vr. dapat mencapai 20-40 m. Daunnya dalam berkas dua dan berkas jarum (sebetulnya adalah tunas yang sangat pendek yang tidak pernah tumbuh) pada pangkalnya dikelilingi oleh suatu sarung dari sisik yang berupa selaput tipis panjangnya sekitar 0,5 cm. Bunga jantan panjangnya sekitar 2 cm, pada pangkal tunas yang muda, tertumpuk berbentuk bulir. Bunga betina terkumpul dalam jumlah kecil pada ujung tunas yang muda, selindris, dan sedikit berbangun telur,
kerapkali bengkok. Sisik kerucut buah dengan perisai ujung berbentuk jajaran genjang, akhirnya merenggang; kerucut buah panjangnya 7-10 cm. Biji pipih berbentuk bulat telur, panjang 6-7 mm, pada tepi luar dengan sayap besar, mudah lepas (Steenis, 2003).

Tinggi P. merkusii dapat mencapai 20-40 m dengan diameter 100 cm dan batang bebas cabang 2-23 m. Pinus tidak berbanir, kulit luar kasar berwarna coklat kelabu sampai coklat tua, tidak mengelupas dan beralur lebar serta dalam. Kayu pinus berwarna coklat-kuning muda, berat jenis rata-rata 0,55 dan termasuk kelas kuat III serta kelas awet IV.

Pohon pinus berbunga dan berbuah sepanjang tahun, terutama pada bulan Juli- November. Biji yang baik warna kulitnya kering kecoklatan, bentuk bijinya bulat, padat, dan tidak berkerut. Jumlah biji kering 57.900 butir per kg atau 31.000 butir/l

Serasah pinus akan terdekomposisi secara alami dalam waktu 8-9 tahun.  Serasah pinus merupakan serasah daun jarum yang mempunyai kandungan lignin dan ekstraktif tinggi serta bersifat asam, sehingga sulit untuk dirombak oleh mikroorganisme

Syarat Tumbuh
P. merkusii dapat tumbuh pada tanah yang kurang subur, tanah berpasir, tanah berbatu dengan curah hujan tipe A-C pada ketinggian 200-1.700 mdpl. Di hutan alam masih banyak ditemukan pohon besar berukuran tinggi 70 m dengan diameter 170 cm.

P. merkusii  termasuk famili Pinaceae, tumbuh secara alami di Aceh, Sumatera Utara, dan Gunung Kerinci. P. merkusii mempunyai sifat pioner yaitu dapat tumbuh baik pada tanah yang kurang subur seperti padang alang-alang. Di Indonesia, P. merkusii dapat tumbuh pada ketinggian antara 200-2.000 mdpl. Pertumbuhan optimal dicapai pada ketinggian antara 400-1.500 mdpl (Khaerudin, 1999).

Penyebaran
P. merkusii tersebar di Asia Tenggara antara lain Burma, Thailand, Vietnam, Laos, Kamboja, dan Filipina.

P. merkusii atau tusam merupakan satu-satunya jenis pinus asli Indonesia. Di daerah Sumatera, tegakan pinus alam dapat dibagi ke dalam tiga strain , yaitu :

1. Strain Aceh, penyebarannya dari pegunungan Selawah Agam sampai sekitar Taman Nasional Gunung Leuser. Dari sini menyebar ke selatan mengikuti pegunungan Bukit Barisan lebih kurang 300 km melalui Danau Laut Tawar, Uwak, Blangkejeren sampai ke Kotacane. Di daerah ini tegakan pinus pada umumnya terdapat pada ketinggian 800 – 2000 mdpl.

2. Strain Tapanuli, menyebar di daerah Tapanuli ke selatan Danau Toba. Tegakan pinus alami yang umum terdapat di pegunungan Dolok Tusam dan Dolok Pardomuan. Di pegunungan Dolok Saut, pinus bercampur dengan jenis daun lebar. Di daerah ini tegakan pinus terdapat pada ketinggian 1000 – 1500 mdpl

3. Strain Kerinci, menyebar di sekitar pegunungan Kerinci. Tegakan pinus alami yang luas terdapat antar Bukit Tapan dan Sungai Penuh. Di daerah ini tegakan pinus tumbuh secara alami umumnya pada ketinggian 1500 – 2000 mdpl

Menurut catatan, P. merkusii yang ditanam di Indonesia benihnya berasal dari Aceh atau asal mulanya dari Blangkejeren, sedangkan asal Tapanuli dan Kerinci belum dikembangkan. Pernah dicoba menanam P. merkusii asal Tapanuli di Aek Nauli, tetapi karena serangan Milionia basalis akhirnya tidak dilanjutkan pengembangannya. Padahal menurut pengamatan dengan mata telanjang banyak kelebihan atau perbedaan baik sifat maupun pertumbuhan pohon dari ketiga populasi tersebut. Tampaknya bentuk pohon yang ada di Aceh lebih bengkok-bengkok bila dibandingkan dengan yang ada di Tapanuli dan Kerinci.

Kadar terpentin berbeda seperti dalam hal kandungan monoterpenenya. Kadar delta-3-carene lebih tinggi dari alpha pinene yang berlawanan dengan keterangan dalam pustaka selama ini, kecuali untuk Tapanuli. Seandainya diperoleh kadar delta-3-carene yang tinggi di Tapanuli maka akan tampak adanya variasi klinal menurut garis lintang dari utara ke selatan. Kadar limonene terdapat lebih tinggi di Tapanuli, demikian pula untuk alpha pinene. Dengan demikian variasi ekotipik lebih jelas terdapat pada P. merkusii  bahwa komposisi asam gondorukem pada ketiga populasi yang ditelitinya (Aceh, Tapanuli dan Kerinci) tidak menunjukkan perbedaan yang nyata dan lain halnya dengan komposisi terpentinnya.

Kandungan alpha pinene dan delta-3-carene sangat tinggi pada ketiga populasi. Pengetahuan variasi geografis sangat penting dalam rangka pemuliaan suatu jenispohon. Zobel dan Talbert (1984) mengemukakan bahwa program pemuliaan pohon hampir sebanyak 30 persen gagal karena tidak memperhatikan adanya variasi geografis.

Contohnya adalah introduksi Pinus oocarpa yang mulanya gagal di Amerika Selatan tidak lain disebabkan oleh karena asal benih yang dipakai dalam pengujian memang tidak akan tumbuh optimal di Amerika Selatan. Setelah dicoba jenis yang sama dengan benih dari lokasi yang lain ternyata jenis tersebut dapat tumbuh optimal.

Gondorukem
Gondorukem adalah getah dari pohon Pinus (Pinus merkusii) yang kemudian diolah menjadi gondorukem.  Gondorukem diperdagangkan dalam bentuk keping-keping padat berwarna kuning keemasan. Kandungannya sebagian besar adalah asam-asam diterpena, terutama asam abietat, asam isopimarat, asam laevoabietat, dan asam pimarat. Penggunaannya antara lain sebagai bahan pelunak plester serta campuran perban gigi, sebagai campuran perona mata (eyeshadow) dan penguat bulu mata, sebagai bahan perekat warna pada industri percetakan (tinta) dan cat (lak)

Gondorukem (resina colophonium) adalah olahan dari getah hasil sadapan pada batang tusam (Pinus). Gondorukem merupakan hasil pembersihan terhadap residu proses destilasi (penyulingan) uap terhadap getah tusam. Hasil destilasinya sendiri menjadi terpentin. Di Indonesia gondorukem dan terpentin diambil dari batang tusam Sumatera (Pinus merkusii). Di luar negeri sumbernya adalah P. palustris, P. pinaster, P. ponderosa, dan P. roxburghii.
Gondorukem diperdagangkan dalam bentuk keping-keping padat berwarna kuning keemasan.

Kandungannya sebagian besar adalah asam-asam diterpena, terutama asam abietat, asam isopimarat, asam laevoabietat, dan asam pimarat.
Penggunaannya antara lain sebagai bahan pelunak plester serta campuran perban gigi, sebagai campuran perona mata (eyeshadow) dan penguat bulu mata, sebagai bahan perekat warna pada industri percetakan (tinta) dan cat (lak).

Di Indonesia, komoditi ekspor ini dihasilkan oleh Perum Perhutani, terutama dari penanaman tusam di hutan pegunungan Jawa.

Terpentin
Terpentin adalah getah dari pohon Pinus (Pinus merkusii) yang kemudian diolah menjadi terpentin. Kegunaan terpentin adalah untuk bahan baku industri kosmetik, minyak cat, campuran bahan pelarut, antiseptik, kamfer dan farmasi.

Proses Pengolahan Getah Pinus
Dalam proses pengolahan Getah Pinus di Pabrik Gondorukem & Terpentin (PGT) Perum Perhutani, bahan baku  industri berupa Getah Pinus (Pinus Merkusii) diproses melalui beberapa tahapan :
1) Penerimaan & Pengujian Bahan Baku
2) Pengenceran
3) Pencucian & Penyaringan
4) Pemanasan/pemasakan
5) Pengujian& Pengemasan
Gondorukem dan Terpentin merupakan hasil distilasi/penyulingan dari getah Pinus. Gondorukem berupa padatan berwarna kuning jernih sampai kuning tua. Sedangkan Terpentin berbentuk cair berwarna jernih serta merupakan pelarut yang kuat.

Proses pengolahan getah menjadi gondorukem pada umumnya meliputi 2 tahapan :
-   Pemurnian getah dari kotoran-kotaran
-   Pemisahan terpentin dari gondorukem dengan cara distilasi/penguapan.

Proses pemurnian getah.
-  pengenceran getah dengan terpentin
-  pengambilan/penyaringan kotoran kasar
- pencucian & pemisahan kotoran halus dengan penyaringan maupun pengendapan.

Proses pemisahan gondorukem dari terpentinnya.
-   dilakukan dengan pemanasan langsung
-  dilakukan dengan pemanasan tidak langsung. (menggunakan uap)


Sumber : berbagai artikel










Wednesday, February 1, 2017

“Trubusan”, Teknik Percepat Daur Tanaman Hutan


Salah satu faktor penting agar kepastian hasil yang lestari dapat tercapai adalah keberhasilan sistem permudaan. Menurut Knuchel (1953 dalam Simon, 2005) suatu pengelolaan hutan dapat dikatakan lestari bila dapat menyediakan suplai kayu selama bertahun-tahun dari tebangan yang berasal tegakan yang telah mencapai kondisi masak tebang. Tanpa sistem permudaan yang baik, maka produktifitas hutan lambat laun akan menurun.

Sistem pengelolaan hutan baik hutan rakyat  berupa pekarangan, kebun, talun dan hutan rakyat  sistem campuran dan hutan negara akan berbeda satu sama lain, tergantung seberapa tinggi intensitas pengelolaan di dalamnya.

Pada hutan rakyat dengan sistem pekarangan, upaya permudaan yang dilakukan adalah permudaan buatan dengan pemeliharaan tanaman muda yang lebih intensif. Sebaliknya pada sistem kebun atau talun, upaya permudaannya terbatas hanya dengan mengandalkan pada keberadaan anakan alam yang ada dan mengatur jarak tanam yang ideal. 

Tulisan ini bermaksud memberikan informasi tentang sistem permudaan hutan dengan trubusan (coppice system).  Sistem ini sebenarnya telah digunakan pada hutan rakyat di beberapa daerah di Jawa, namun belum secara luas digunakan oleh petani lain di Indonesia.

Beberapa sistem trubusan akan dijelaskan juga kelebihan dan kelemahannya bila ditinjau dari aspek pengelolaannya.

Beberapa tantangan kerap juga dihadapi Perum Perhutani dalam mengelola hutan jati. Salah satunya adalah masih banyaknya pencurian kayu jati. Seringnya pencurian bahkan kerap membuat areal hutan jati gundul. Upaya merehabilitasi kawasan hutan secara tepat dan cepat menjadi satu hal yang sangat penting. Demi langkah itu beberapa Kesatuan pemangkuan hutan membudidayakan tanaman Jati lewat pola trubusan.


Mengenal Budidaya Trubusan Jati


Budi daya tanaman jati dengan pola trubusan adalah pengembangan tanaman jati tanpa menanam. Caranya adalah dengan memelihara tanaman muda yang tumbuh atau trubus dari bonggol jati yang telah ditebang. Dari beberapa trubusan yang tumbuh itu, lalu dipilih yang terbaik. Nah, trubusan yang terbaik itulah yang selanjutnya dipelihara hingga usia 20 tahun. Di usia 20 tahun, jati trubusan dapat dipanen.

Jadi, trubusan adalah tunas baru yang tumbuh di bekas tebangan tanaman jati. Selain teknik trubusan, juga ada pola yang lain pengembangan jati tanpa menanam, yaitu opslagh. Konon, kegiatan opslagh cultur sudah ada dan pernah dilakukan di zaman penjajahan Belanda dulu. Konon, kegiatan opslagh cultur adalah bagian dari manajemen kepepet (cara instan menghijaukan hutan).

Tetapi, ada beda trubusan dan opslagh. Jika dalam proses pengembangan tanaman jati dengan pola trubusan itu bonggol jati dibiarkan alamiah dan apa adanya, dalam pola opslagh bonggol jati itu dikepras dulu sampai rata dengan tanah, baru dibiarkan. Nah, trubusan-trubusan yang tumbuh dari bekas tebangan jati itu lalu dipilih yang terbaik, dan dipelihara hingga besar.

Trubusan telah dikembangkan oleh KPH Nganjuk sejak tahun 2003. Pola itu dipandang cukup baik sebagai upaya mempercepat proses reboisasi guna menutup lahan bekas tebangan dan pencurian. Selain tidak butuh biaya besar, trubusan juga mempercepat daur (siklus pertumbuhan, red) jati dari 60 tahun menjadi 20 tahun, sehingga dapat mempercepat kawasan hutan menjadi hijau kembali.

Ide mengembangkan jati dengan pola trubusan itu muncul karena di tahun 2003 itu ia melihat produktivitas kayu jati dari KPH Nganjuk per tahun menurun. Umumnya penurunan itu karena banyak gangguan yang datang, semisal perusakan dan pencurian kayu. Sehingga, katanya, saat itu area hutan produksi di Nganjuk memiliki daur yang sesungguhnya tidak lagi sampai 20 tahun, melainkan hanya berkisar lima tahunan.

Umumnya tanaman yang baru berumur antara lima sampai sepuluh tahun hilang karena dicuri, dan sewaktu ditanami lagi dirusak orang, sehingga tidak pernah sampai mencapai siklus tumbuh (daur) normal.

Tenaga kerja masyarakat yang bekerja di hutan semakin lama semakin berkurang. Termasuk jumlah mandor Perhutani yang juga semakin berkurang karena memasuki masa pensiun. Selain itu, musim hujan tak bisa diprediksi.  Semua itu, ditambah upaya untuk menekan biaya pemeliharaan pohon, menjadi faktor yang melatarbelakangi dikembangkannya sistem trubusan di KPH Nganjuk.

Produktivitas kayu jati dari daerah KPH Nganjuk berkisar hanya 40.000 meter kubik pertahun. “Itu pun angka resminya, akan tetapi realitasnya hanya berkisar 5000 sampai 7000 meter kubik, karena sebagian besar hilang dalam bentuk kayu rencek, kayu bakar.

Harus ada sistem pengelolaan yang bagus dan efektif agar produktivitas kayu jati dapat meningkat. Setelah merenung dan meneliti pola-pola pengembangan jati, tercetuslah manajemen pengelolaan trubusan itu sebagai solusi untuk segera melakukan recovery.

Solusi melalui pemikiran untuk memotong daur jati dari 60-70 tahun menjadi hanya 20 tahun, di daerah penyangga, dengan teknik tebang tanpa teresan, melalui teknik pemeliharaan tunas, sehingga dapat cepat pulih. Dan sejak itulah manajemen pengelolaan jati dengan teknik trubusan terus dikembangkan.

Perhutani sudah memiliki pemikiran untuk menanam di daerah penyangga dengan daur pendek Fast Growing Species (FGS). Tetapi, pola itu bukan digunakan dengan jenis tanaman jati, melainkan akasia mangium dan mindi. Untuk jati, pola mempercepat daur itu belum pernah dicoba, karena masih terpaku pada pemikiran bahwa masa daur jati harus 60 tahun. Sedangkan, nilai ekonomis jati lebih besar daripada kayu jenis lainnya.

Penunggalan (singling) adalah kegiatan pemotongan beberapa batang hasil trubusan jati
yang memiliki bentuk batang yang tidak bagus sehingga tersisa 1 trubusan jati yang diharapkan mampu tumbuh menjadi 1 batang pohon jati yang lurus dengan bebas cabang tinggi, dan  diameter lebih besar.

Kegiatan ini bertujuan untuk menghasilkan   1 trubusan yang memiliki batang lurus, bebas
cabang tinggi, dan diameter lebar.

Manfaat penunggalan  :
  1. Pohon yang memiliki satu batang utama (trubusan yang tidak dipotong) akan memiliki pertumbuhan yang optimal sehingga akan mampu menghasilkan batang pohon jati yang lurus, bebas cabang tinggi, dan diameter lebar.
  2. Kayu hasil singling  dapat dimanfaatkan sebagai kayu bakar dan tambahan pendapatan petani.
  3. Dapat mengurangi resiko kebakaran hutan.
Tajuk yang bersinggungan dari lantai hutan hingga tajuk pohon teratas akan memudahkan  api menjalar menjadi besar.

Cara penjarangan pada penunngalan trubusan :
  1. Kegiatan penunggalan hanya dilakukan pada  tunggak jati yang memiliki jumlah trubusan lebih dari 1 batang.
  2. Perhatikan bentuk dan kondisi kesehatan beberapa trubusan yang muncul pada suatu tunggak jati.
  3. Pilih satu terubus an yang paling potensial yaitu penampilannya paling sehat, besar, lurus, dan paling dekat dengan tanah. Trubusan ini merupakan trubusan pilihan yang tidak dipotong dan dibiarkan hidup menjadi besar.
  4. Bersihkan batang dan pangkal batang trubusan yang akan dipotong (yakni yang memiliki bentuk batang tidak lurus, pertumbuhan tidak sehat) dari berbagai kotoran dan lilitan liana.
  5. Potong trubusan pada pangkal batangnya atau permukaan tunggak jatinya.
  6. Pemotongan trubusan dilakukan dengan menggunakan gergaji.
  7. Bekas pangkal batang trubusan yang sudah dipotong diberi minyak ter agar tidak menjadi pintu masuk bagi hama atau penyakit.
  8. Setelah minyak ternya kering, bekas pangkal batang trubusan yang dipotong ditutup dengan tanah agar akar yang tumbuh di pangkal batang merata di semua sisi.
  9. Penunggalan dilakukan secara rutin setiap tumbuh terubusan baru, agar pertumbuhan pohon terpusat pada terubusan yang terpilih.

Tidak Salahi Prinsip Keilmuan
Trubusan yang banyak bermunculan menjadi hutan yang bagus di wilayah KPH Nganjuk. Di tempat tugasnya sebelum KPH Nganjuk, pola seperti ini belum terpikirkan.

Saat ini kayu jati kategori diameter 4 dan diameter 7 yang merupakan hasil tebang umur 10 tahun dan 20 tahun, juga laris terjual di pasaran. Jika jati trubusan yang setelah dua puluh tahun itu ditebang, setidaknya untuk setiap satu hektare dapat bernilai minimal Rp 50 juta, dengan target 100 meter kubik per hektare. Lagipula, menurut dia, pembudiayaan tanaman jati berdaur pendek lewat pola trubusan ini juga tidak akan menyalahi prinsip ilmu kehutanan manapun.

Tiga prinsip dalam pengelolaan hutan, yaitu ekologi, ekonomi, dan sosial. Dari aspek ekologi jelas terpenuhi, karena sehabis ditebang langsung jadi hutan kembali. Segi ekonomi juga pasti, karena dapat menghasilkan produk dalam waktu pendek. Dan sisi sosial juga kongkret karena 25 persen keuntungannya untuk kas desa.

Selain itu, setelah waktu dua puluh tahun, jika jati trubusan itu ditebang, setidaknya dapat bernilai minimal lima puluh juta rupiah untuk setiap luas satu hektare, dengan target 100 meter kubik per hektare. Sedangkan biayanya hanya Rp 150.000 per hektare.

Jadi, trubusan tidak menyalahi prinsip keilmuan. Bahkan, ia bisa menjadi solusi yang paling relevan bagi persoalan-persoalan mendasar, semisal faktor biaya pembuatan tanaman yang mahal, waktu pemeliharaan yang lama, dan risiko keamanan yang banyak.

Pengelolaan hutan dengan metode opslagh culture khususnya pada kelas hutan TBK atau tanaman bertumbuhan kurang, dengan harapan dapat mempercepat penutupan lahan, dengan biaya minimal tetapi tetap mampu memberikan tambahan kontribusi pendapatan secara maksimal terhadap perusahaan.

Pengembangan jati dengan teknik trubusan sekarang ini sudah mulai dilakukan secara serius oleh KPH-KPH, terutama KPH-KPH yang memiliki risiko gangguan keamanan hutan yang tinggi.

Masih Ada Kendala
Pengembangan tanaman jati dengan pola trubusan tersebut bermanfaat  untuk menghijaukan kembali lahan bekas tebangan dan lahan bekas pencurian. Juga dapat mempercepat proses merehabilitasi kawasan hutan secara tepat dan efektif tanpa membutuhkan waktu lama.

Namun, masih ada kendala dalam penerapannya. Kekurangannya adalah mudah roboh jika terkena angin. Selain itu, tumbuhnya tunas-tunas baru kerap kali mengganggu pertumbuhan tunas pokok, dan apabila tunas itu sudah besar biasanya ditebang untuk digunakan sebagai kayu bakar atau rencek, sehingga terjadi trubusan baru yang memulai prosesnya dari awal lagi.

Maka, perlu disandingkan dengan jati yang daurnya normal sebagai sumber benih. Jika sumber benihnya berkualitas, serta melalui proses penanaman plances atau bibit terseleksi dari persemaian, maka diharapkan bibit jati yang ditanam merupakan bibit yang baik, sehat, dan dalam kondisi yang tepat waktu untuk ditanam. Sehingga, pada akhir daur nanti akan diperoleh tegakan jati yang berkualitas.

Selain kendala tersebut, ancaman lain terhadap kelangsungan jati trubusan yaitu kecenderungan peningkatan gangguan terhadap tanaman hutan berupa pencurian kayu, pemangkasan cabang, pengambilan daun secara liar, pembabatan liar, kebakaran hutan maupun gangguan lainnya. Semua itu bisa mengakibatkan hutan mengalami kerusakan, penurunan produktivitas hutan, dan menurunnya kualitas tegakan.

Banyaknya tumbuh tunas-tunas baru yang kerap mengganggu pertumbuhan tunas pokok, perlu benar-benar dipilih tunas yang tumbuhnya paling baik.

Tunas tumbuh pada tunggak biasanya lebih dari satu. Untuk itu, perlu dipilih satu tunas yang tumbuhnya paling baik, sedangkan tunas lainnya dimatikan atau wiwil. Dan setelah selesai, diberikan preservak atau tir.

Pemotongan tunggak-tunggak dengan menggunakan gergaji tangan (bow saw) atau gergaji rantai (chain saw) dengan potongan miring. Untuk menghindari genangan air, tinggi tunggak bagian yang rendah minimal dua centimeter dan bagian yang tinggi lima centimeter di atas tanah. Setelah selesai, pada tunggak tersebut diberikan preservak atau tir.

Pengembangan jati trubusan dapat meningkatkan produktivitas tanaman hutan serta mempercepat proses reboisasi dan penutupan tanah kosong. Penerapan trubusan dan opslagh culture dengan daur 10 – 20 tahun ini diutamakan  dilakukan di daerah penyangga. Dan, menyimak proses pengembangan jati trubusan, maka sebagai sebuah terobosan dalam pengembangan jati.


BEBERAPA SISTEM SILVIKULTUR PADA HUTAN RAKYAT
Pemilihan sistem silvikultur pada hutan rakyat sesungguhnya sangat dipengaruhi oleh intensitas pengelolaan di dalamnya, kondisi tegakan dan bentuk hutan rakyat yang diusahakan. Menurut Mindawati (2006), pengelolaan hutan rakyat merupakan bagian dari seluruh aktifitas petani di lahannya. Teknik silvikultur yang diterapkan masyarakat pada umumnya masih silvikultur tradisional dan kegiatannya bervariasi pada tiap periode perkembangannya. Beberapa hasil penelitian yang dilakukan oleh Widiarti (2001);  Prabowo, (2000) dan Attar (2000) yang dirangkum oleh Mindawati (2006) menggambarkan bahwa terdapat beberapa praktek silvikultur yang diterapkan pada hutan rakyat pada beberapa daerah di Indonesia, antara lain yaitu :

1. Sistem Tebang Habis dengan Trubusan
 Sistem tebang habis dengan trubusan biasanya dilakukan pada hutan rakyat murni sengon dan jati yang ditumpangsarikan dengan tanaman semusim sampai pohon sengon berumur ± 2 tahun. Seluruh tanaman sengon pada umur 5-6 tahun ditebang habis, sedangkan tanaman jati biasanya di atas umur 20 tahunan baru ditebang. Untuk membentuk tegakan selanjutnya, dipilih tunas yang tumbuh cukup banyak dari tunggul bekas tebangan. Tunas dipilih 2–3 batang yang tumbuh baik, berbatang lurus dan sehat. Pada umur 3–5 tahun  tunas-tunas tersebut dapat dipungut lagi hasilnya. 

Berdasarkan pengalaman untuk tanaman sengon di daerah Sukabumi dan Tasikmalaya (Jawa Barat), tunggul yang diterapkan pertama (pohon induk) cukup baik untuk menghasilkan tiga kali trubusan. Permudaan sengon dengan trubusan juga dilakukan masyarakat di Desa Gunungsari, Boyolali dan Desa Sumberejo, Wonogiri, Jawa Tengah. Sistem ini menghemat biaya pembuatan tanaman, namun kualitas tegakan yang dihasilkan terkadang mutunya belum tentu sama dengan tegakan sebelumnya (kurang baik).

2.  Sistem Tebang Habis dengan Permudaan Buatan

Sistem silvikultur tebang habis dengan permudaan buatan dilaksanakan pada hutan rakyat yang sudah dikelola dengan baik. Petani mempunyai lahan yang cukup luas dan modal yang cukup. Sistem seperti ini dilaksanakan pada hutan rakyat murni akan tetapi sistem ini masih jarang dijumpai di lapangan.

3.  Sistem Tebang Pilih dengan Permudaan Alam
Sistem silvikultur tebang pilih dengan permudaan alam umumnya dilakukan pada areal hutan rakyat campuran dan wanatani. Biasanya hutan rakyat tersebut belum dikelola secara baik karena petani hanya memungut beberapa pohon sesuai kebutuhan sehingga mengakibatkan keragaman yang tinggi pada jenis dan umur tanaman pada satu lokasi. Setelah menebang petani tidak menanami areal bekas tebangan, tetapi cukup mengandalkan permudaan alam yang memang jumlahnya cukup berlimpah. Kelemahan sistem ini adalah tidak didapatkannya jumlah kayu yang cukup pada suatu waktu tertentu dengan kualitas yang baik, karena bibit yang berasal dari tunggakan belum tentu mempunyai kualitas yang baik. 

4.  Sistem Tebang Pilih dengan Permudaan Buatan
Sistem silvikultur tebang pilih dengan permudaan buatan dilakukan dengan memilih pohon-pohon yang akan ditebang sesuai keperluannya. Permudaan dilakukan dengan menanami kembali bekas tebangan tersebut dengan bibit/anakan yang telah dipersiapkan sebelumnya.  Akan tetapi seringkali biji yang dipakai bukan berasal dari pohon plus, tetapi dari pohon tebangan di sekitar lokasi sehingga kualitas bibit kurang baik. Sistem silvikultur seperti di atas dijumpai pada hutan rakyat yang berbentuk campuran dan hutan rakyat dengan sistem agroforestry/wanatani.


SISTEM PERMUDAAN DENGAN TRUBUSAN
Sebagian besar jenis pohon komersial di Indonesia dipermudakan dari biji dan semai. Sebagian kecil lagi dapat dipermudakan melalui trubusan dan tunas, seperti: sengon, sungkai, sonokeling, lamtoro, kaliandra, kayu putih, akasia dan lain-lain. Menurut Nyland (2001) jika permudaan dengan semai akan menghasilkan sistem hutan tinggi (high forest system), maka  permudaan dengan trubusan akan menghasilkan sistem hutan rendah (low forest system).

Menurut Hamilton dan Colac (2000), trubusan merupakan pertumbuhan kembali tunas pada tunggak pohon (stump). Sistem permudaan dengan trubusan adalah kegiatan menebang pohon dan menyisakan stump yang pendek, untuk merangsang munculnya tunas pada stump sebagai upaya regenerasi berikutnya. Sedangkan menurut Nyland (2001), sistem pemudaan dengan trubusan adalah suatu cara regenerasi tegakan secara vegetativ melalui trubusan, baik yang muncul pada stump, akar yang menjalar (root suckers)  atau dari percabangan.

Beberapa silvikulturis menyatakan bahwa permudaan cara ini umumnya memiliki umur rotasi yang lebih pendek dibandingkan permudaan dari anakan alam atau biji. Namun ditegaskan oleh Nyland (2001), permudaan dengan cara ini akan berhasil jika spesies pohon tersebut secara alami mudah memunculkan trubusan atau mudah berakar. Selain itu permudaan dengan trubusan umumnya dilakukan pada spesies berdaun lebar pada tegakan berumur muda sampai sedang.

Ada 3 metode sistem permudaan dengan trubusan (Nyland (2001), yaitu:
1.    Sistem trubusan berdasarkan tunas yang muncul pada stump
2.    Sistem trubusan berdasarkan tunas yang muncul pada root sucker
3.    Trubusan dengan sistem standart

Secara ringkas masing-masing dijelaskan sebagai berikut.

1.   Sistem trubusan berdasarkan tunas yang muncul pada stump
Setelah ditebang sebagian besar tanaman berdaun lebar akan menghasilkan trubusan tanpa harus mencapai ukuran dewasa dan berdiameter besar. Beberapa trubusan muncul dari mata tunas dorman yang tumbuh dari bawah kulit kayu yang kemudian terlihat tumbuh di samping atau bagian bawah stump. Pertumbuhan tunas adventif yang lain juga dapat terbentuk pada kambium yang berasal dari kallus di sepanjang permukaan atas stump yang terpotong. Kemungkinan munculnya trubusan pada tunggak bekas tebangan dapat dilihat pada Gambar 1.

 Gambar 1. Dua kemungkinan trubusan muncul pada stump

Sistem permudaan dengan trubusan menurut Nyland (2001) akan menghemat biaya pembuatan tanaman karena biaya persiapan lahan akan berkurang.  Bila teknik ini diterapkan pada tegakan muda dan seumur, maka harus dipastikan bahwa kerapatan tegakannya cukup tinggi. Jarak tanam yang digunakan umumnya tergantung pada jenis pohon, produk kayu yang diinginkan dan panjang rotasi tanaman. Jarak paling rapat dapat digunakan 0,6 x 0,9 m untuk tujuan kayu bakar dengan panjang rotasi 1 tahun, sedangkan jarak terlebar dapat mencapai 3-3,7 m untuk tujuan kayu perkakas dengan panjang rotasi 30-40 tahun.

Kondisi tapak yang sesuai juga sangat menentukan keberhasilan tegakan dengan permudaan sistem ini. Kondisi tapak yang ideal umumnya adalah bersolum dalam, bertekstur sedang-remah, strukturnya porus, kandungan bahan organik >2%, pH sesuai dengan jenis tanaman, serta memiliki musim hujan yang cukup untuk menunjang pertumbuhan tanaman meski tanpa bantuan irigasi yang memadai. Agar produktifitas tegakan maksimal, kombinasi teknik lain dapat digunakan seperti penggunaan materi genetik unggul, penyiangan teratur, pemupukan, irigasi dan perlindungan tanaman. Untuk tanaman dengan rotasi pendek dan sebagian besar biomassa diangkut ke luar, maka produktifitas lahan perlu dijaga dengan pemberian tambahan pupuk N.

Faktor lain yang perlu diperhatikan menurut Nyland (2001) adalah kemampuan memunculkan trubusan akan dipengaruhi oleh jenis, ukuran dan umur pohon. Pada jenis Sugar maple kemampuan mengeluarkan trubusan mulai berkurang ketika diameter batang mencapai 30,5-35,6 cm, sebaliknya pada Red maple mulai meningkat pada diameter 25,4 cm dan paling bagus pada diameter 50,8 m. Uji coba pada jenis Sycamore menunjukkan kemampuan trubusan terbaik dicapai pada ukuran diameter batang 25,4 cm, karena cadangan karbohidrat dan kemampuan menyerap hara akar pada kondisi itu sangat baik. Secara umum kebanyakan spesies akan mengalami penurunan kemampuan memunculkan trubusan setelah berumur 40 tahun atau kurang. Pada saat itu beberapa faktor penghambat akan  semakin meningkat seiring bertambahnya umur dan ukuran pohon seperti: kulit kayu sudah menebal sehingga sulit ditembus oleh tunas dorman pada kambium serta jaringan penghubung antara mata tunas dorman dan celah (pith) sudah rusak.

Kapasitas trubusan juga akan berkurang setelah 3-5 generasi. Sebagai contoh pada Eucalyptus globulus di India dengan panjang rotasi 15 tahun, produksi trubusannya berkurang 9% pada rotasi ke-2 dan semakin berkurang menjadi 20% pada rotasi ke-4. Bila hal tersebut terjadi, maka disarankan untuk membongkar stump dan menggantinya dengan tanaman dari bibit yang baru. 

Ketinggian stump juga berpengaruh terhadap kualitas trubusan. Pada stump yang rendah, akar tunjang akan tumbuh lebih ekstensif dibandingkan stump yang tinggi (sekitar 30 cm). Penebangan pohon yang lebih dekat ke permukaan tanah juga  meningkatkan resistensi busuk batang. Hal ini menurut Cheyney (1942 dalam Nyland 2001) disebabkan karena:

-    trubusan seakan membangun sistem perakaran sendiri pada perakaran stump
-    stump pohon induk bagian bawah tidak akan cepat busuk dibandingkan bila stump terlalu tinggi
-    trubusan pada stump yang rendah akan mempunyai landasan yang kokoh dan tidak akan cepat rusak karena  seakan menempel pada bagian atas stump.

2.  Sistem trubusan berdasarkan tunas yang muncul pada root sucker
Hanya sedikit spesies yang bisa menghasilkan root sucker (akar yang menjalar di bawah permukaan tanah). Akar jalar ini muncul dari akar dangkal dan kadang berfungsi sebagai batang utama untuk beberapa percabangan pada sistem perakaran. Trubusan yang berasal dari root sucker dapat muncul dimana saja, tumbuh secara terpisah dan mengembangkan sistem perakaran sendiri tanpa tergantung pohon induknya. Trubusan tidak akan ikut membusuk bila batang pohon induknya mengalami pembusukan. Kelebihan lainnya, pertumbuhan tanaman baru tidak mengalami penurunan meskipun telah beberapa rotasi tanaman.

Gambar 2. Trubusan yang muncul dari root sucker  pada Poplar (Populus sp.)

Meskipun kapasitas memunculkan trubusan akar berbeda pada masing-masing klon, tetapi kemampuannya secara umum tidak menurun dengan bertambahnya umur pohon atau setelah beberapa rotasi tanaman. Pada jenis Aspen dan American beech sebagian besar trubusan akar muncul pada akar lateral yang mempunyai diameter sekitar 7,62 cm. 

Beberapa kegiatan silvikultur seperti menghilangkan akumulasi bahan organik pada permukaan dan pembakaran terkendali pada lahan yang mempunyai lapisan bahan organik tebal seringkali dapat meningkatkan trubusan akar.  Sedangkan pengolahan tanah yang mengganggu sistem perakaran justru mengurangi trubusan akar. Beberapa kasus luka kecil akibat penebangan akan merangsang kallus dan meningkatkan produksi trubusan. Pada klon-klon yang diketahui mempunyai kemampuan mengeluarkan trubusan sangat baik, pembakaran serasah mungkin tidak diperlukan meskipun pada lahan tersebut terdapat lapisan serasah dan humus yang tebal.

 Menurut Nyland (2001), waktu penebangan pohon juga berpengaruh terhadap produktifitas trubusan. Pada jenis Aspen, jika penebangan pohon dilakukan pada musim dingin dapat menghasilkan 4 kali lipat trubusan akar dibandingkan musim panas. Hal ini menjadi masalah penting bagi pengelola yang menggunakan sistem ini untuk menjamin suplai kayu sepanjang tahun karena mereka tidak dapat menebang hanya dalam satu musim saja. Untuk itu perlu dilakukan identifikasi pohon mana yang mempunyai kapasitas trubusan kurang (berdasarkan vigor pohon atau jenis klon) dan pohon mana yang mengeluarkan trubusan pada musim dorman. Klon yang berbeda akan mempunyai kapasitas trubusan yang berbeda, sehingga tegakan dengan kapasitas trubusan tinggi akan lebih mudah melakukan regenerasi setelah dilakukan pemanenan.

3. Trubusan dengan sistem standar
Pada metode permudaan ini tegakan tersusun dari pohon yang berasal dari bibit  (tanaman standar) dan trubusan. Tanaman standar tetap dipelihara dan ditanam dengan jarak tanam lebar untuk umur rotasi yang lebih panjang, sedangkan permudaan dengan trubusan tetap dipelihara di sela-selanya.  Tanaman standar yang berpenampilan bagus akan dipilih sebagai pohon induk sebagai sumber benih untuk meremajakan pohon-pohon dari trubusan yang menunjukkan penurunan pertumbuhan. Pohon dengan pertumbuhan yang bagus dengan diameter besar tetap dipelihara untuk kayu pertukangan. Nyland (2001) menyatakan bahwa teknik ini mempunyai banyak kelebihan seperti: terjaganya habitat bagi satwa liar,  untuk fungsi rekreasi dan pemilik dapat memanen tanaman bila dinilai harga produk tersebut cukup baik.

Sistem ini juga dapat dibentuk sebagai sistem trubusan campuran. Sebagian pohon  yang tua ditebang dan sebagian ditinggalkan. Trubusan yang muncul dari tunggak sisa tebangan dan berpenampilan bagus akan dipelihara untuk memperkaya tegakan, tetapi juga dilakukan penanaman beberapa bibit dari biji. Dengan demikian akan terbentuk tegakan tidak seumur, yaitu kelas tegakan seumur dari regenerasi tanaman asal trubusan dan satu kelas umur dari tegakan tua yang tetap dipertahankan.

Gambar 3.  Ilustrasi model sistem permudaan standar dengan mencampur sistem permudaan dari trubusan dengan tanaman asal biji

Dibandingkan dengan sistem permudaan trubusan total, maka permudaan dengan sistem standar akan memiliki beberapa kelebihan dan kekurangan.  Tabel 1 menyajikan beberapa kelebihan dan kekurangan sistem permudaan standar dengan sistem  trubusan total.

Tabel 1. Kelebihan dan kekurangan permudaan dengan sistem standar

Kelebihan
Kekurangan
1. Pohon yang dapat dipanen tersedia dalam berbagai ukuran, termasuk diameter besar yang bernilai tinggi
1.    Kondisi tegakan yang beragam menyebabkan silvikultur yang diterapkan lebih rumit terutama untuk menyeimbangkan ruang tumbuh antara tanaman asal trubusan dan bibit
2. Dalam jangka pendek tegakan dapat pulih sehingga pendapatan secara periodik akan terjamin
2.   Bila trubusan banyak, tajuk tanaman akan tumbuh rapat dan tinggi, sehingga menyulitkan pemilihan pohon untuk diseleksi
3. Hanya mengandung sedikit nilai residual per unit area, karena agar menguntungkan pemilik akan meningkatkan komposisi dengan jenis-jenis cepat tumbuh dan bernilai ekonomis tinggi
3.  Pemilik harus menciptakan pasar sendiri  bagi kayu berdiameter kecil yang banyak dihasilkan dari sistem trubusan seperti halnya untuk kayu pertukangan
4. Tanaman standart akan tumbuh cepat sehingga meningkatkan riap volume dan nilai ekonomis yang didapat makin tinggi
4. Kondisi terbuka akan meningkatkan percabangan, luka bakar pada batang pada tanaman standart sehingga dapat merusak batang utama
5. Tanaman standart dapat menghasilkan biji yang memungkinkan pemilik memproduksi bibit baik secara  generatif dan vegetatif
5.  Naungan dari tanaman standart dapat menekan pertumbuhan trubusan terutama pada tegakan dengan umur beragam
6. Penutupan tajuk yang kontinyu yang diciptakan tanaman standart dan trubusan akan melindungi tanah lebih baik dibandingkan bila tegakan terdiri atas pohon asal trubusan saja
6. Naungan dapat menghambat pertumbuhan trubusan dari jenis-jenis intoleran
7. Kehadiran trubusan yang padat diantara tanaman standart akan mencegah okupasi oleh jenis-jenis yang tidak diinginkan
7.   Pada tegakan skala luas, untuk memanen kayu serat dari trubusan  perlu penggunaan alat berat sehingga memakan biaya dan membahayakan pohon standart
8. Kehadiran tanaman standart dapat meningkatkan penampilan tegakan sebelum ditebang dan selama menuju suksesi
8.  Adakalanya setelah ditebang suatu pohon tidak menumbuhkankan trubusan sehingga perlu diganti dengan tanaman asal biji
9. Pemilik dapat mengelola dengan lebih beragam jenis dan kelas umur untuk memberikan habitat bagi kehidupan liar
9.  Tanaman muda sebagai bakal tegakan standart membutuhkan pembebasan lebih awal untuk mencapai riap yang optimal

10. Pembebasan tanaman standart dengan penjarangan berat dapat meningkatkan resiko tegakan rusak karena angin terutama pada tanah bersolum dangkal

11. Diperlukan pruning pada tanaman standart untuk meningkatkan kualita batang bagian bawah

12. Tanaman standart umumnya mempunyai bentuk batang jelek, percabangan berat untuk mempertahankan diri dari terpaan angin dsb.
 Sumber :  Cheyney, 1942; Smith, 1986 dan Matthew, 1989  yang dirangkum oleh Nyland,  2001.


APLIKASI TRUBUSAN UNTUK PERMUDAAN HUTAN RAKYAT

Umumnya hutan rakyat merupakan tegakan campuran, hanya sebagian kecil saja yang diusahakan monokultur terutama yang dilakukan oleh perorangan atau kelompok usaha yang mempunyai modal besar (Sudrajat dan Abidin, 2006). Dengan demikian, untuk menerapkan sistem permudaan dengan trubusan pada hutan rakyat perlu diketahui karakteristik pertumbuhan setiap jenis serta kemampuannya untuk menghasilkan trubusan. Pencampuran setiap jenis pun harus memperhatikan karakteristik pertumbuhan tanaman, sehingga tanaman tersebut dapat tumbuh baik secara bersamaan.

Pemilihan jenis juga sangat tergantung pada produk kayu yang diinginkan. Untuk tujuan kayu bakar sebaiknya dipilih jenis-jenis yang mempunyai persyaratan cepat tumbuh, menghasilkan tunas baru bila dipangkas dan mempunyai nilai kalori panas yang tinggi. Lamtoro gung (Leucaena leucocephala), akor (Acacia auiculiformis), kaliandra (Caliandra calothyrsus), gamal (Glirisidae maculata) merupakan beberapa contoh jenis yang sesuai untuk tujuan kayu bakar. Sedangkan untuk kayu pertukangan, selain mampu mengeluarkan trubusan pada tunggak sisa tebangan, jenis tersebut juga mempunyai nilai ekonomis tinggi, cepat tumbuh, berkualitas batang baik, produksinya tinggi dan nilai pasarnya cukup baik. Jenis yang dianjurkan adalah: jati (Tectona grandis), sengon (Paraserianthes falcataria), sonokeling (Dalbergia latifolia) dan sungkai (Peronema canescens).

Beberapa jenis tanaman pada hutan rakyat yang cukup baik dikembangkan dengan sistem permudaan dengan trubusan tersaji pada Tabel 2.

Tabel 2. Beberapa jenis pohon  yang dapat dipermudakan dengan trubusan
No.
Nama jenis
Kemampuan trubusan
Sifat tumbuh
Peruntukan
1.
Acacia auriculiformis (akor)
rendah
tumbuh cepat
Kayu pertukangan,   k. serat, k. bakar
2.
Calliandra callothyrsus Meissn. (kaliandra)
tinggi
tumbuh cepat
Kayu bakar, pakan ternak
3.
Cassia siamea Lamk (johar)
Sedang
sedang
Kayu pertukangan,               k. bakar, pakan ternak
4.
Eucalyptus deglupta Blume (leda)
Rendah
tumbuh cepat
Kayu pertukangan,    k. serat
5.
Gliricidae maculate (gamal)
Tinggi
tumbuh cepat
Kayu bakar, pakan ternak
6.
Gmelina arborea Roxb.(gmelina)
Sedang
tumbuh cepat
Kayu pertukangan,     ky. bakar
7.
Leucaena leucephala syn Leucaena glauca (lamtoro gung)
Tinggi
tumbuh cepat
Kayu bakar, pakan ternak
8.
Paraserianthes falcataria L. Nielsen (sengon)
Sedang
tumbuh cepat
Kayu pertukangan,     ky. bakar, pakan ternak
9.
Peronema canescens Jack. (sungkai)
Tinggi
tumbuh cepat
Kayu pertukangan,     ky. bakar
10.
Sesbania grandiflora (turi)
Rendah
tumbuh cepat
Kayu serat, ky. bakar, pakan ternak
11.
Tectona grandis L.(jati)
Sedang
sedang
Kayu pertukangan,    ky. bakar


Permudaan dengan trubusan termasuk pembiakan vegetatif dimana sifat keturunannya akan persis sama dengan induknya. Sehingga untuk mendapatkan produktifitas tanaman yang tinggi dan menjamin keragaman genetik pada suatu lahan, perlu diupayakan penggunaan benih tanaman bermutu dan unggul serta varietas-varietas  yang cukup beragam pada setiap spesies yang dikembangkan. Menurut Nyland (2001) untuk menjamin keragam genetik dalam suatu lahan, maka penanaman campuran dari beberapa provenans juga dapat dilakukan. Cara ini diharapkan dapat melindungi serangan hama dan penyakit yang mungkin terjadi dan mengakomodir adanya variasi kondisi tanah yang beragam.

Menurut Sudrajat dan Abidin (2006) kelemahan pengembangan hutan rakyat selama ini bila ditinjau dari pengadaan benih/bibit adalah umumnya bibit yang ditanam berasal dari benih yang berkualitas rendah bahkan seringkali berasal dari semai liar yang tumbuh secara alami. Adanya dugaan kurang luasnya basik genetik dari jenis-jenis yang didomestikasi seringkali juga menyebabkan kegagalan tanaman. Sebagai contoh tanaman lamtoro gung yang pernah gagal akibat serangan kutu loncat, sengon yang rentan serangan hama dan penyakit serta A. auriculiformis yang mempunyai bentuk batang bengkok menurut Sabanurdin (1999 dalam Sudrajat dan Abidin, 2006) diduga akibat sempitnya basik genetik jenis-jenis eksotik yang telah lama diintroduksi di Indonesia.

Selain itu, beberapa upaya yang perlu dilakukan untuk meningkatkan kualita tegakan adalah petani dapat menanam tegakan baru dari jenis-jenis yang mudah memunculkan trubusan dan memilih provenans tertentu yang diketahui mempunyai potensi memunculkan trubusan tinggi, pertumbuhan yang bagus dan sistem perakaran yang menjangkar ke tanah (Nyland, 2001). Untuk mengatasi kebutuhan benih bermutu dalam jangka pendek, dapat digunakan benih yang berasal dari sumber benih desa yang berupa pohon-pohon atau tegakan plus (superior) sebagai sumber benih (Sudrajat dan Abidin, 2006).

Lebih lanjut dikemukakan oleh Nyland (2001), pada hutan rakyat dengan tujuan produknya untuk kayu serat, maka penjarangan tidak dilakukan. Namun demikian pembebasan antara terkadang diperlukan untuk menjaga kesehatan tegakan. Pada beberapa kasus, petani hanya menunggu sampai tegakan mencapai riap tahunan (MAI) maksimum kemudian  memanen untuk mendapatkan trubusan kembali. Untuk tujuan kayu pertukangan, pemilik dapat mengembangkan rotasi tanaman asal trubusan dengan menyesuaikan riap tahunan yang sesuai bagi kayu pertukangan untuk menentuan umur rotasi yang tepat. Penjarangan individu dapat dilakukan untuk meningkatkan pertumbuhan tanaman dengan disesuaikan analisis ekonominya. Sedangkan untuk kayu bakar, tanaman pagar dan sejenisnya, prinsip yang sama dapat digunakan. Panjang rotasi tanaman dapat ditentukan ketika MAI suatu produk mencapai puncaknya terutama untuk tegakan-tegakan tanpa penjarangan.


PROSPEK TRUBUSAN UNTUK PERMUDAAN HUTAN RAKYAT 

Beberapa kelebihan pemanfaatan trubusan untuk sistem permudaan pada hutan rakyat adalah dapat mengurangi biaya pembuatan tanaman karena biaya persiapan lahan dan pembuatan bibit baru dapat dihemat. Erosi tanah dapat dikurangi  karena pengolahan tanah lebih sedikit dilakukan, serta rotasi tanaman dapat diperpendek karena sistem perakaran tanaman yang telah berkembang di dalam tanah akan mempercepat pertumbuhan trubusan. 
Nyland (2001) juga mengemukakan beberapa kelebihan sistem permudaan dengan trubusan antara lain adalah:

  • metode yang digunakan lebih simpel yaitu tebang habis yang didukung regenerasi yang murah dan cepat
  • secara efektif dapat meregenerasi suatu lahan dengan beragam ukuran tanpa tergantung pada suatu sumber benih
  • dapat memproduksi trubusan berlimpah dengan kecepatan pertumbuhan tinggi dan produktifitas tahunan per unit area tinggi
  • memungkinkan pemilik untuk memproduksi jenis-jenis kayu serat dan kayu bakar dengan volume yang tinggi melebihi umumnya tanaman rotasi pendek
  • meminimalkan gangguan penyakit yang berhubungan dengan rotasi yang panjang dan banyaknya pohon-pohon tua
  • memproduksi tegakan dengan tingkat keseragaman yang tinggi yang memungkinkan penggunaan sistem mekanisasi dalam pemanenan
  • mendukung pengelolan tegakan dengan umur beragam pada lahan-lahan yang berdampingan sehingga dapat menunjang kehidupan satwa liar 

Hasil penelitian Jariyah dan Wahyuningrum (2008) pada beberapa hutan rakyat di Jawa Barat (Sumedang, Majalengka dan Cirebon), di Jawa Tengah (Semarang, Gunung Kidul, Pemalang dan Magelang) serta di Jawa Timur (Nganjuk dan Tulung Agung) menunjukkan bahwa pada beberapa jenis tanaman seperti: mahoni, jati, sengon, dan suren umumnya dilakukan dengan bibit dan trubusan. Permudaan secara alami dengan anakan dan trubusan lebih banyak dilakukan karena biaya yang dikeluarkan tidak banyak. Kadang petani  melakukan penanaman dengan bibit jika mereka ingin menanam tanaman baru atau menanam jenis yang unggul.

Perum Perhutani saat ini juga mulai mengkaji kemungkinan penggunaan trubusan untuk memperpendek umur rotasi tanaman jati dari 70 tahun menjadi hanya 20 tahun saja dengan sistem pemeliharaan trubusan. Di KPH Nganjuk Jawa Timur sistem ini mulai dipraktekkan untuk mengatasi tingkat gangguan perusakan tanaman  yang tinggi oleh masyarakat. Karena jati termasuk jenis yang mudah memunculkan trubusan pada tunggak bekas tebangan,maka untuk menghasilkan 1 trubusan jati dengan batang lurus, bebas cabang tinggi dan diameter yang besar, perlu dilakukan penunggalan batang (singling) secara rutin setiap tumbuh trubusan baru agar pertumbuhan pohon terpusat pada trubusan yang dipilih. Trubusan yang dipelihara selama 6 bulan, tingginya sama dengan pohon jati yang berusia 4 tahun yang ditanam dari biji. Riap diameter tanaman dari trubusan ini juga lebih tinggi yaitu sekitar 2-3 cm per tahun, sedangkan tanaman asal biji hanya 1-2 cm per tahun. Trubusan ini akan semakin cepat besar jika diberi pupuk dan dirawat dengan baik. Trubusan berusia 3 tahun, sudah hampir sama besarnya dengan tanaman jati usia 10 tahun.


Gambar 4. Pembinaan jati trubusan

Sengon juga salah satu jenis tanaman hutan rakyat yang saat ini banyak dipermudakan dengan trubusan. Dari satu tunggul sengon dapat muncul 4-5 (Siregar et al., 2008) sedangkan menurut Warisno dan Dahana (2009) dapat muncul 1-10 trubusan. Karena dari beberapa trubusan umumnya hanya disisakan 1 batang terbaik untuk dipelihara, maka trubusan-trubusan yang lain dapat dicangkok untuk bahan tanaman berikutnya. Trubusan yang dapat dicangkok umumnya mempunyai ukuran  diameter pangkal sekitar 5 cm. Tanaman hasil cangkokan dapat langsung ditanam atau atau dipindahkan terlebih dahulu ke polibag. Trubusan yang siap dicangkok menurut Warisno dan Dahana (2009) harus memenuhi syarat antara lain:

-         diameter batang antara 1-2 cm dengan tinggi sekitar 15 cm
-         batang telah berwarna kecoklatan, yang menunjukkan batang telah berkayu sempurna
-         pertumbuhan trubusan sempurna dan tidak terserang hama/penyakit.


Sumber : dikutif dari berbagai sumber.